Pemikiran perempuan ini tentang identitas paling mudah diilustrasikan dengan
lukisan pelukis Belgia Rene Magritte La trahison des images (pengkhianatan citracitra), lukisan pipa dengan kalimat Ceci n’est pas une pipe. Seperti Heidegger dan
murid-murid Prancisnya—Derrida dan Foucault—Butler berpendapat bahwa tidak
ada sesuatu di luar teks, maka petanda (signified), misalnya pipa dalam lukisan
Magritte, tunduk di bawah kedaulatan penanda (signifier), yaitu teks di bawahnya.
Dengan cara pikir seperti itu, Butler melihat seks dan gender bukan sebagai
sesuatu yang “alami”, karena keduanya bukanlah substansi-substansi identitas yang
permanen, melainkan hasil—demikian sebutannya—“materialisasi” suatu diskursus.
Dalam arti ini tiada seks/gender yang pra-diskursif Yasir dengan jitu
merumuskan pemikiran Butler dengan tesis “tidak ada gender dan seks
pradiskursif”. Seks/gender terjadi lewat percakapan, maka adalah nurture dan
bukan nature. Dikatakan dengan sederhana: Orang tidak lahir sebagai laki-laki atau
perempuan, melainkan menjadi demikian karena pengakuan akan pertunjukan
atau—demikian sebutan Butler—“performativitas”. Contoh yang diberikan Yasir
dapat menjelaskan hal itu. Katanya, seperti para waria Thailand dalam pertunjukan
drag yang berupaya tampil sedemikian hingga diakui para penonton mereka
sebagai perempuan sejati, begitu juga cara kita menjadi laki-laki atau perempuan.
Jadi, anda bukan laki-laki atau perempuan sampai orang-orang lain mengakui
demikian, maka anda akan terus berupaya mencari pengakuan untuk meneguhkan
identitas seksual anda. Heretoseksualitas tidaklah alami, melainkan imitasi.