Pada waktu naskah Master Agreement selesai disusun dan diparaf kedua pihak pada 18 Desember 1974, di sepakati, agar dalam waktu 6 bulan sesudah tanggal tersebut -jadi paling lambat 18 Juni 1975 -struktur pembiayaan dan jaminan pengadaan pembiayaan sudah harus dirampungkan.
Walaupun pada waktu itu ekonomi Jepang telah mengalami tekanan inflasi yang cukup berat, produksi dan ekspornya masih berjalan cukup lancar. Karena inilah agaknya maka krisis minyak masih dapat dihadapi ekonomi Jepang dengan tenang.
Namun pada triwulan pertama tahun 1975, ke adaan ekonomi negara itu tiba-tiba memburuk dengan amat cepat. Ucapan stagflation menjadi buah bibir di mana-mana. Stagnasi mulai timbul dalam produksi. Penumpukan persediaan makin meningkat. Tidak sedikit perusahaan mulai gulung tikar. Dan banyak buruh yang harus dirumahkan.
Akibatnya, para anggota konsorsium pelebur aluminium Jepang yang pada saat MA masih sangat optimistis, mulai bimbang. Sebab belum pernah perdagangan logam bukan besi (nonferrous metals) mengalami keadaan yang demikian buruk.
Namun. iktikad masih cukup kuat. Lebih-lebih sesudah Menteri MITI, Komoto, kembali dari Indonesia. Di Jakarta Menteri itu menemui Presiden Soeharto pada 30 April 1975 dan menegaskan lagi tekad Pemerintah Jepang untuk mewujudkan Proyek Asahan.
Untuk memperkuat landasan saham bagi pelaksanaan proyek, perusahaan-perusahaan pelebur mengikutkan beberapa perusahaan dagang untuk mengambil saham pula. Dengan demikian perusahaan-perusahaan itu dapat membantu meningkatkan kemampuan untuk menjamin pinjaman-pinjaman yang diperlukan.
Bulan Mei keadaan ekonomi Jepang lebih memburuk. Tampaknya perusahaan-perusahaan Jepang yang akan ikut serta tidak berdaya lagi. Dalam percakapan saya dengan Duta Besar Yusuf Ramli dan Minister Councellor, Leon Sumantri, pada awal Juni 1975, disepakati untuk mulai mendekati (approach) Pemerintah Jepang secara langsung melalui MITI.
Sampai saat itu, sesuai dengan perjanjian, pendekatan terhadap Pemerintah Jepang dilakukan hanya oleh Sumitomo Chemical Corporation atas nama konsorsium, sekaligus atas nama Indonesia sebagai patner.
Pada 4 Juni 1975, kami diundang Sugano, pimpinan delegasi Jepang, untuk mengadakan rapat terbatas di -Kantor Sumitomo Chemical Corporation. Rapat dihadiri Sugano, K.Seo dan interpreter Yonekura, dari pihak Jepang. Dari pihak Indonesia: saya sendiri, di dampingi Leon Sumantri dan Ir. Siahaan.
Dalam pertemuan tertutup -ini, Sugano menandaskan secara terbuka, bahwa keadaan ekonomi Jepang sudah sangat memburuk sejak akhir 1973. Meskipun semangat masih tetap tinggi, semua anggota Konsorsium Jepang tidak mampu lagi - dan mereka telah menyerahkan masalahnya kepada Pemerintah Jepang. Dengan demikian ketetapan yang disepakati 18 Juni 1975, jelas tidak akan dapat dipenuhi.
Ucapan ini, sebaliknya -lebih memperkuat tekad delegasi Indonesia untuk menghubungi Pemerintah Jepang secara langsung. Maka pada 5 Juni 1975, pertemuan pertama berlangsung dengan salah satu Direktur MITI, K.Omi Secara panjang lebar kami utarakan persoalan Proyek Asahan, terutama masalah pembiayaan. Keterangan ini bagi Omi-san rupanya merupakan konfirmasi dari laporan yang telah diterimanya langsung dari Sumitomo Chemical Corporation.
Omi-san hanya berjanji akan mempelajari persoalannya dan meminta kami untuk tetap berada di Tokyo. Dua hari kemudian tiba undangan dari MITI untuk mengadakan pembicaraan di kantor MITI. Pada saat itu hadir dua direktur, yakni K.Omi dan T. Toyoshima, dan atasan mereka, Direktur Jendral R. Hashimoto --- tiga pejabat teras yang tampaknya ditugasi menangani masalah Proyek Asahan.
Dua direktur inilah yang berusaha mencari struktur pembiayaan yang dapat diterima oleh kedua pihak. Mereka menampilkan prosedur baru untuk pertama kali dilaksanakan dalam sejarah kerja sama luar negeri Jepang. Dana pinjaman Jepang biasanya diberikan kepada perusahaan di Jepang untuk kemudian ditanam di negeri lain ----- tetapi sekali ini disalurkan langsung ke perusahaan di Indonesia.
Namun Kementerian Keuangan Jepang, di bawah Menteri Ohira, berkeberatan - kecuali bila Pemerintah RI bersedia memberikan jaminan di samping mengizinkan pabrik pelebur aluminium di jadikan jaminan.
Usul MITI mencakup tiga pokok sebagai berikut:
a. Pemerintah Jepang, bersedia memberikan pinjaman sebanyak 70% dari seluruh pembiayaan Proyek Asahan (sebelumnya 80%), dan dari modal saham 30% diminta agar Pemerintah RI, mengambil 25 % .dan Konsorsium perusahaan Jepang 75%.
b. Pemerintah Jepang meminta agar 25% dari nilai pinjaman dijamin oleh Pemerintah RI. Pinjaman tersebut berasal dari OECF dan akan disalurkan melalui Pemerintah RI untuk dipinjamkan kepada perusahaan di Indonesia dengan syarat yang sama.
c. Pemerintah , Jepang menuntut agar pabrik pelebur aluminium dapat menjadi jaminan (collateral).
Usul ini kami pandang cukup , wajar dan kami bawa ke Jakarta untuk mendapatkan kata sepakat :dari Pemerintah. Perundingan di Jakarta, baik dengan Presiden . Soeharto maupun dengan para menteri ekonomi dan moneter, selesai -dalam seminggu dengan kesepakatan bulat.
Waktu itu nilai investasi diperhitungkan telah menjadi AS $ 870 juta, sehingga beban langsung bagi Pemerintah RI menjadi kurang lebih AS $ 165 juta.
Sesuai dengan naskah, dalam tiga tahun pertama Pemerintah akan'menyetor 10% modal saham dan mencicil 1.5% tiap tahun, selama 10 tahun.
Pada saat itu telah beberapa kali disinggung kemungkinan menyelenggarakan penanda-tanganan MA pada hari-hari Presiden Soeharto berkunjung ke Tokyo, 6 s/d 8 Juli 1975. Sayang sekali, walaupun Pemerintah RI telah menyetujui usul MITI, ternyata badan ini belum dapat menjadikan usul itu sebagi keputusan resmi Pemerintah Jepang.
Perundingan terhenti pada tahap ini. Kami kembali lagi ke Jakarta sambil menunggu keputusan Pemerintah Jepang lebih lanjut.
Pada waktu naskah Master Agreement selesai disusun dan diparaf kedua pihak pada 18 Desember 1974, di sepakati, agar dalam waktu 6 bulan sesudah tanggal tersebut -jadi paling lambat 18 Juni 1975 -struktur pembiayaan dan jaminan pengadaan pembiayaan sudah harus dirampungkan.
Walaupun pada waktu itu ekonomi Jepang telah mengalami tekanan inflasi yang cukup berat, produksi dan ekspornya masih berjalan cukup lancar. Karena inilah agaknya maka krisis minyak masih dapat dihadapi ekonomi Jepang dengan tenang.
Namun pada triwulan pertama tahun 1975, ke adaan ekonomi negara itu tiba-tiba memburuk dengan amat cepat. Ucapan stagflation menjadi buah bibir di mana-mana. Stagnasi mulai timbul dalam produksi. Penumpukan persediaan makin meningkat. Tidak sedikit perusahaan mulai gulung tikar. Dan banyak buruh yang harus dirumahkan.
Akibatnya, para anggota konsorsium pelebur aluminium Jepang yang pada saat MA masih sangat optimistis, mulai bimbang. Sebab belum pernah perdagangan logam bukan besi (nonferrous metals) mengalami keadaan yang demikian buruk.
Namun. iktikad masih cukup kuat. Lebih-lebih sesudah Menteri MITI, Komoto, kembali dari Indonesia. Di Jakarta Menteri itu menemui Presiden Soeharto pada 30 April 1975 dan menegaskan lagi tekad Pemerintah Jepang untuk mewujudkan Proyek Asahan.
Untuk memperkuat landasan saham bagi pelaksanaan proyek, perusahaan-perusahaan pelebur mengikutkan beberapa perusahaan dagang untuk mengambil saham pula. Dengan demikian perusahaan-perusahaan itu dapat membantu meningkatkan kemampuan untuk menjamin pinjaman-pinjaman yang diperlukan.
Bulan Mei keadaan ekonomi Jepang lebih memburuk. Tampaknya perusahaan-perusahaan Jepang yang akan ikut serta tidak berdaya lagi. Dalam percakapan saya dengan Duta Besar Yusuf Ramli dan Minister Councellor, Leon Sumantri, pada awal Juni 1975, disepakati untuk mulai mendekati (approach) Pemerintah Jepang secara langsung melalui MITI.
Sampai saat itu, sesuai dengan perjanjian, pendekatan terhadap Pemerintah Jepang dilakukan hanya oleh Sumitomo Chemical Corporation atas nama konsorsium, sekaligus atas nama Indonesia sebagai patner.
Pada 4 Juni 1975, kami diundang Sugano, pimpinan delegasi Jepang, untuk mengadakan rapat terbatas di -Kantor Sumitomo Chemical Corporation. Rapat dihadiri Sugano, K.Seo dan interpreter Yonekura, dari pihak Jepang. Dari pihak Indonesia: saya sendiri, di dampingi Leon Sumantri dan Ir. Siahaan.
Dalam pertemuan tertutup -ini, Sugano menandaskan secara terbuka, bahwa keadaan ekonomi Jepang sudah sangat memburuk sejak akhir 1973. Meskipun semangat masih tetap tinggi, semua anggota Konsorsium Jepang tidak mampu lagi - dan mereka telah menyerahkan masalahnya kepada Pemerintah Jepang. Dengan demikian ketetapan yang disepakati 18 Juni 1975, jelas tidak akan dapat dipenuhi.
Ucapan ini, sebaliknya -lebih memperkuat tekad delegasi Indonesia untuk menghubungi Pemerintah Jepang secara langsung. Maka pada 5 Juni 1975, pertemuan pertama berlangsung dengan salah satu Direktur MITI, K.Omi Secara panjang lebar kami utarakan persoalan Proyek Asahan, terutama masalah pembiayaan. Keterangan ini bagi Omi-san rupanya merupakan konfirmasi dari laporan yang telah diterimanya langsung dari Sumitomo Chemical Corporation.
Omi-san hanya berjanji akan mempelajari persoalannya dan meminta kami untuk tetap berada di Tokyo. Dua hari kemudian tiba undangan dari MITI untuk mengadakan pembicaraan di kantor MITI. Pada saat itu hadir dua direktur, yakni K.Omi dan T. Toyoshima, dan atasan mereka, Direktur Jendral R. Hashimoto --- tiga pejabat teras yang tampaknya ditugasi menangani masalah Proyek Asahan.
Dua direktur inilah yang berusaha mencari struktur pembiayaan yang dapat diterima oleh kedua pihak. Mereka menampilkan prosedur baru untuk pertama kali dilaksanakan dalam sejarah kerja sama luar negeri Jepang. Dana pinjaman Jepang biasanya diberikan kepada perusahaan di Jepang untuk kemudian ditanam di negeri lain ----- tetapi sekali ini disalurkan langsung ke perusahaan di Indonesia.
Namun Kementerian Keuangan Jepang, di bawah Menteri Ohira, berkeberatan - kecuali bila Pemerintah RI bersedia memberikan jaminan di samping mengizinkan pabrik pelebur aluminium di jadikan jaminan.
Usul MITI mencakup tiga pokok sebagai berikut:
a. Pemerintah Jepang, bersedia memberikan pinjaman sebanyak 70% dari seluruh pembiayaan Proyek Asahan (sebelumnya 80%), dan dari modal saham 30% diminta agar Pemerintah RI, mengambil 25 % .dan Konsorsium perusahaan Jepang 75%.
b. Pemerintah Jepang meminta agar 25% dari nilai pinjaman dijamin oleh Pemerintah RI. Pinjaman tersebut berasal dari OECF dan akan disalurkan melalui Pemerintah RI untuk dipinjamkan kepada perusahaan di Indonesia dengan syarat yang sama.
c. Pemerintah , Jepang menuntut agar pabrik pelebur aluminium dapat menjadi jaminan (collateral).
Usul ini kami pandang cukup , wajar dan kami bawa ke Jakarta untuk mendapatkan kata sepakat :dari Pemerintah. Perundingan di Jakarta, baik dengan Presiden . Soeharto maupun dengan para menteri ekonomi dan moneter, selesai -dalam seminggu dengan kesepakatan bulat.
Waktu itu nilai investasi diperhitungkan telah menjadi AS $ 870 juta, sehingga beban langsung bagi Pemerintah RI menjadi kurang lebih AS $ 165 juta.
Sesuai dengan naskah, dalam tiga tahun pertama Pemerintah akan'menyetor 10% modal saham dan mencicil 1.5% tiap tahun, selama 10 tahun.
Pada saat itu telah beberapa kali disinggung kemungkinan menyelenggarakan penanda-tanganan MA pada hari-hari Presiden Soeharto berkunjung ke Tokyo, 6 s/d 8 Juli 1975. Sayang sekali, walaupun Pemerintah RI telah menyetujui usul MITI, ternyata badan ini belum dapat menjadikan usul itu sebagi keputusan resmi Pemerintah Jepang.
Perundingan terhenti pada tahap ini. Kami kembali lagi ke Jakarta sambil menunggu keputusan Pemerintah Jepang lebih lanjut.
翻訳されて、しばらくお待ちください..
