Setelah tiga tulisan yang lebih merupakan—meminjam ungkapan Yasir—
“pertunjukkan gagasan filsafat”, tulisan Neng Dara Affiah menutup buku ini dengan
mengupas pemikiran Ziba Mir-Hosseini dan mencoba menarik relevansinya
untuk hukum keluarga muslim di Indonesia. Tanpa mengabaikan kontribusi ketiga
tulisan lain, tulisan keempat inilah yang paling penting untuk realitas sosial di
Indonesia. Anda boleh saja bicara soal postmetafisika dan dekonstruksi gender,
tetapi semua perbincangan canggih itu kosong saja, bila tidak mendarat ke
realitas hukum. Ada jurang yang dalam di antara pemikiran filosofis Barat yang
sekarang memasuki tahap postmetafisis dan pemikiran hukum Islam. Arendt,
Benhabib dan Butler telah melampaui tidak hanya teosentrisme, melainkan juga
antroposentrisme dengan masuk ke dalam logosentrisme, sementara pemikiran
hukum Islam masih berkutat dengan teosentrisme yang di Barat sudah lama
sekali ditinggalkan. Namun hal itu bukan masalah khas Islam, karena modernitas
memang bertegangan dengan norma-norma agama pada umumnya. Hal itu
menjadi masalah karena kebanyakan masyarakat muslim belum tersekularisasi
seperti Barat, sehingga hukum sakral masih dipercaya sebagai norma politis.
Meringkas sejarah hukum Islam, Affiah, mengacu pada Mir-Hosseini, berpendapat
bahwa akar persoalan stagnasi perkembangan hukum Islam ada di abad ke-
10. Empat mazhab hukum—Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali—“dianggap
telah sempurna, maka pada abad ke-10 terdapat deklarasi bahwa ijtihad telah
tertutup”. Apa yang dilakukan oleh Mir-Hosseini adalah—jika kita boleh memakai
istilah R. Bultmann—semacam “demitologisasi” tradisi Islam. Demitologisasi
adalah bagian wawasan dunia Pencerahan yang mencoba mengasalkan narasinarasi mitis dan sakral pada penyebab-penyebab empiris dan profan. Dengan
ungkapan lain, Mir-Hosseini hendak membuka kembali pintu tafsir rasional
atas hukum sakral dengan memahami konteks historis asal-usul hukum itu.