Imam al-Ghazali dalam Ihyâ `Ulumuddîn memang mengatakan bahwa ketika terjadi konsepsi, transaksi tidak boleh dirusak lagi. Jadi beliau mengibaratkan proses pembuahan itu sebagai transaksi. Jadi al-maujûd al-hâshil (sesuatu yang telah terkonsepsi) itu, tidak boleh dianulir. Tapi Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang lain, al-Wajîz juga mengakui bahwa pengguguran yang dilakukan dalam tahap `alaqah (gumpalan darah) itu tidak apa-apa. Jadi yang perlu dianalisis dari pertentangan pendapat al-Ghazali ini adalah sisi hermeneutikanya. Mengapa al-Ghazali memiliki dua pandangan dan sikap yang berbeda-beda? Setelah saya kaji, ternyata beliau menulis al-Wajîz dalam kapasitasnya sebagai ahli fikih. Belakangan, ketika menulis kitab Ihyâ `Ulûmuddin, beliau dalam tahap usia lanjut sebagai filosof dan ahli sufi yang pemikirannya “sangat arif sekali”. Dalam kajian tentang hermeneutika yang ditulis pemikir Libanon, Ali Harb, dikatakan bahwa penglihatan yang sangat dalam dan kearifanlah yang menjadi metode dominan bagi kalangan sufi. Ini berbeda dengan metode kalangan ahli fikih yang melihat fakta-fakta dan kompleksitas suatu persoalan.