Adapun manfaat yang diperoleh Indonesia melalui pengesahan Protokol Nagoya, antara lain:
Melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
Mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati.
Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama(Mutually Agreed Terms).
Meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama.
Menguatkan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menegaskan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.
Memberikan insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum internasional, yaitu negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yurisdiksi negara yang bersangkutan.
Peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan Protokol Nagoya, antara lain:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043);
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4612);
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073).
Protokol Nagoya terdiri atas 36 (tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran. Materi pokok Protokol Nagoya mengatur hal-hal sebagai berikut:
ruang lingkup Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik;
pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms);
akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya genetik;
penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan;
mekanisme pembagian keuntungan multilateral global (global multilateral benefit sharing) terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara;
mekanisme kelembagaan diatur dengan:
1) penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA) sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta kesepakatan bersama; dan
2) penunjukkan Pumpunan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat juga berfungsi sebagai NCA;
pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik;
penaatan terhadap peraturan perundang-undangan nasional mengenai akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik;
pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang diakui secara internasional;
penaatan terhadap kesepakatan bersama
penyedia (provider) dan pemanfaat (user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa;
model klausul kontrak kesepakatan bersama
Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak dalam kesepakatan bersama;
kode etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar
Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik;
peningkatan kesadaran
Negara Pihak melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan;
peningkatan kapasitas
Negara Pihak bekerja sama dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain pengembangan:
1) kapasitas untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajiban-kewajiban dalam Protokol Nagoya;
2) kapasitas untuk menegosiasikan kesepakatan bersama;
3) kapasitas untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan menegakkan langkah-langkah legislatif, administratif atau kebijakan nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan
4) kapasitas untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk menambahkan nilai pada sumber daya genetik.
transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja sama
Negara Pihak meningkatkan dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan