How I love the way you move, and the sparkle in your eyes…
There’s a color deep inside them, like a blue suburban sky…
Lagu Warrant yang terdengar secara misterius itu masih mengalun. Aku diam-diam menatap matanya yang cemerlang.
Kenapa warnanya coklat sekaligus penuh warna lain yang memesona?
Dan yang lebih penting, bagaimana bisa seorang manusia merasa sangat ingin memeluk manusia lain seperti ini?
“Yuk, kita mulai saja,” katanya, tiba-tiba. Hmm.. jadi dia sudah selesai bernyanyi? batinku geli.
Pukul 3 sore, di hari yang sama, di hadapan secangkir kopi
Aku masih ingat minggu lalu adalah acara angkatan sekolahku. Entah siapa yang mengusulkan, tapi kami semua mengadakan acara di pantai kota.
Bahkan dengan seragamnya yang dikenakan kali terakhir hari itu, dia masih menjadi satu-satunya orang yang membuatku menoleh.
Oh, ya. Omong-omong, dia sudah pulang sedari tadi. Kami hanya bertemu sebentar.
Dan tidak terlalu banyak bicara.
Tapi aku tidak keberatan. Duduk satu meja dengannya adalah kesempatan yang telah lama sekali aku bayangkan. Ditambah lagi, dia tersenyum lebih dari 3 kali kepadaku.
Bukankah aku orang yang paling bahagia sedunia?
Ah…
Aku jadi ingat saat itu, saat mendebarkan sekaligus memalukan.
Ingat acara kelulusan angkatanku di pantai yang tadi kusebut? Dengan segenap hati, aku menyapanya. Menembus celah mentari. Otakku berputar mencari bahan obrolan.
Lalu memutuskan untuk memuji pakaiannya.
“Bajumu bagus.”
Saat kalimat itu keluar, aku baru sadar: ia memakai seragam sekolahnya.
Bodoh.
Bisakah aku lebih bodoh lagi?
Denting sendok yang berputar asal di cangkirku seirama dengan tawa geli di kepalaku.
Tapi—hey, selalu ada saat di mana kita tak bisa bicara di depan seseorang, kan?
“Terima kasih, tapi ini hanya seragam yang seperti biasanya.”
Dia menjawab heran. Ingin tertawa, aku tahu. Sungguh baik sekali ia tidak melakukannya.
Atau mungkin ia tahu aku sangat berdebar?
“Kurasa… Begini…”
Aku melihat uap keluar dari cangkirku. Memejamkan mata, aku terus memutar kenangan minggu lalu dengannya.
“Sebenarnya ini aneh. Tapi, ada kafe baru di dekat sekolah. Apakah kau keberatan mampir ke sana besok?”
Dia terkejut. Aku tidak menyalahkannya.
“Aku akan membantumu soal essay yang sedang kau kerjakan.”
Pukul 10 pagi, di hari yang lain. Di atas hamparan pasir putih…
dan ombak.
“Aku masih tidak mengerti jawabanmu waktu itu. Soal kau tahu tentang aku yang sedang menulis essay.”
Aku mengedikkan bahu seadanya. Suara ombak terdengar di sela-sela napas.
“Di daftar pengumuman,” kataku, “ada 10 murid sekolah kita yang lolos seleksi pertama universitas di Jogja.”
Mataku menatapnya. “Salah satunya kamu.”
“Ah, benar, benar… Di sana ada penjelasan kalau syarat yang harus ditempuh selanjutnya adalah menulis essay tentang diri sendiri sepanjang 10.000 kata,” sahutnya sembari mengangguk.
Aku tersenyum.
Sebenarnya itu hanya setengahnya benar. Aku selalu diam-diam mencarinya saat istirahat. Apa kau mengira aku tidak akan tahu apa yang sedang dia hadapi?
Maaf, tapi dahagaku akan senyumnya membuatku selalu mencari tahu.
“Tapi aku senang kau tiba-tiba datang menawariku bantuan. Terima kasih.”
Dia tersenyum. Yang kesekian kalinya untukku.
Ya Tuhan, perasaan ini semakin meluap-luap. Apakah harus kuungkapkan saja?
“Lagipula kudengar kamu penulis yang cukup berbakat. Kolom opini dan cerita pendek di majalah sekolah… itu tanggung jawabmu, kan?”
Aku mengangguk. Berpura-pura tuli pada bunyi jantung yang memekakkan organ tubuh.
“Kalau begitu, aku benar-benar beruntung. Kurasa kau tidak keberatan untuk datang malam ini ke rumahku? Perayaan persahabatan kita?”
Deg. Rasanya ombak yang baru saja mencium telapak kakiku lebih dingin dari sebelumnya.
Perayaan persahabatan.
Padahal, aku sudah belajar mengenalnya sedikit demi sedikit hari itu. Aku mendengar ceritanya. Aku membaca tulisannya. Aku membiarkan ia bergerak untuk memudahkanku menciptakan rangkaian kata yang pas pada essay tentang dirinya.
Kurasa itu tidak mengubah apapun terlalu banyak, huh?
Bodoh, cepat-cepat aku menyadarkan diriku sendiri.
Memangnya aku mengharapkan apalagi? Toh aku tidak jatuh cinta.
Iya, kan?
“Tentu saja,” jawabku pada detik kelima.
Dia terkikik. Lebih dari sekedar senyuman. Tubuhnya mendekat ke arahku.
Merangkulku.
Tepi roknya menyentuh batas akhir rokku juga. Rok yang sama. Sekali lagi hari itu, kami sepakat mengenakan seragam kesukaan dari sekolah kami yang khusus perempuan.
Seragam kami sama.
Walaupun ternyata perasaan kami jelas berbeda.
Tahu-tahu aku mendengarnya lagi. Lagu Warrant.
I don’t know what to do
but I’m never giving up on you…
Seseorang baru saja lewat sambil bernyanyi asal-asalan. Sial, kerongkonganku tercekat.
“Aku suka lagu itu. Kau suka?”
Heaven isn’t too far away, is it?
Dia tersenyum—senyum yang sama yang selalu membuatku terpikat.
Aku tidak sempat menjawabnya. Otakku terlalu sibuk berpikir tentang obsesiku pada senyumnya dan keinginanku memeluknya.
Tapi, apakah…
Apakah ini tak boleh?
結果 (
日本語) 1:
[コピー]コピーしました!
How I love the way you move, and the sparkle in your eyes…There’s a color deep inside them, like a blue suburban sky…Lagu Warrant yang terdengar secara misterius itu masih mengalun. Aku diam-diam menatap matanya yang cemerlang.Kenapa warnanya coklat sekaligus penuh warna lain yang memesona?Dan yang lebih penting, bagaimana bisa seorang manusia merasa sangat ingin memeluk manusia lain seperti ini?“Yuk, kita mulai saja,” katanya, tiba-tiba. Hmm.. jadi dia sudah selesai bernyanyi? batinku geli.Pukul 3 sore, di hari yang sama, di hadapan secangkir kopiAku masih ingat minggu lalu adalah acara angkatan sekolahku. Entah siapa yang mengusulkan, tapi kami semua mengadakan acara di pantai kota.Bahkan dengan seragamnya yang dikenakan kali terakhir hari itu, dia masih menjadi satu-satunya orang yang membuatku menoleh.Oh, ya. Omong-omong, dia sudah pulang sedari tadi. Kami hanya bertemu sebentar.Dan tidak terlalu banyak bicara.Tapi aku tidak keberatan. Duduk satu meja dengannya adalah kesempatan yang telah lama sekali aku bayangkan. Ditambah lagi, dia tersenyum lebih dari 3 kali kepadaku.Bukankah aku orang yang paling bahagia sedunia?Ah…Aku jadi ingat saat itu, saat mendebarkan sekaligus memalukan.Ingat acara kelulusan angkatanku di pantai yang tadi kusebut? Dengan segenap hati, aku menyapanya. Menembus celah mentari. Otakku berputar mencari bahan obrolan.Lalu memutuskan untuk memuji pakaiannya.“Bajumu bagus.”Saat kalimat itu keluar, aku baru sadar: ia memakai seragam sekolahnya.Bodoh.Bisakah aku lebih bodoh lagi?Denting sendok yang berputar asal di cangkirku seirama dengan tawa geli di kepalaku.Tapi—hey, selalu ada saat di mana kita tak bisa bicara di depan seseorang, kan?“Terima kasih, tapi ini hanya seragam yang seperti biasanya.”Dia menjawab heran. Ingin tertawa, aku tahu. Sungguh baik sekali ia tidak melakukannya.Atau mungkin ia tahu aku sangat berdebar?“Kurasa… Begini…”Aku melihat uap keluar dari cangkirku. Memejamkan mata, aku terus memutar kenangan minggu lalu dengannya.“Sebenarnya ini aneh. Tapi, ada kafe baru di dekat sekolah. Apakah kau keberatan mampir ke sana besok?”Dia terkejut. Aku tidak menyalahkannya.“Aku akan membantumu soal essay yang sedang kau kerjakan.”Pukul 10 pagi, di hari yang lain. Di atas hamparan pasir putih…dan ombak.“Aku masih tidak mengerti jawabanmu waktu itu. Soal kau tahu tentang aku yang sedang menulis essay.”Aku mengedikkan bahu seadanya. Suara ombak terdengar di sela-sela napas.“Di daftar pengumuman,” kataku, “ada 10 murid sekolah kita yang lolos seleksi pertama universitas di Jogja.”Mataku menatapnya. “Salah satunya kamu.”“Ah, benar, benar… Di sana ada penjelasan kalau syarat yang harus ditempuh selanjutnya adalah menulis essay tentang diri sendiri sepanjang 10.000 kata,” sahutnya sembari mengangguk.Aku tersenyum.Sebenarnya itu hanya setengahnya benar. Aku selalu diam-diam mencarinya saat istirahat. Apa kau mengira aku tidak akan tahu apa yang sedang dia hadapi?Maaf, tapi dahagaku akan senyumnya membuatku selalu mencari tahu.“Tapi aku senang kau tiba-tiba datang menawariku bantuan. Terima kasih.”Dia tersenyum. Yang kesekian kalinya untukku.Ya Tuhan, perasaan ini semakin meluap-luap. Apakah harus kuungkapkan saja?“Lagipula kudengar kamu penulis yang cukup berbakat. Kolom opini dan cerita pendek di majalah sekolah… itu tanggung jawabmu, kan?”Aku mengangguk. Berpura-pura tuli pada bunyi jantung yang memekakkan organ tubuh.“Kalau begitu, aku benar-benar beruntung. Kurasa kau tidak keberatan untuk datang malam ini ke rumahku? Perayaan persahabatan kita?”Deg. Rasanya ombak yang baru saja mencium telapak kakiku lebih dingin dari sebelumnya.Perayaan persahabatan.Padahal, aku sudah belajar mengenalnya sedikit demi sedikit hari itu. Aku mendengar ceritanya. Aku membaca tulisannya. Aku membiarkan ia bergerak untuk memudahkanku menciptakan rangkaian kata yang pas pada essay tentang dirinya.Kurasa itu tidak mengubah apapun terlalu banyak, huh?Bodoh, cepat-cepat aku menyadarkan diriku sendiri.Memangnya aku mengharapkan apalagi? Toh aku tidak jatuh cinta.Iya, kan?“Tentu saja,” jawabku pada detik kelima.Dia terkikik. Lebih dari sekedar senyuman. Tubuhnya mendekat ke arahku.Merangkulku。彼女のスカートの端にアイツの締め切りにも触れた。同じスカートです。今日は再び、私たちは私たちの学校の好きな特別な女性の制服を着用するに合意しました。私たちの制服は同じです。ただし、私たちの気持ちが明らかに異なっていることが判明しました。あなたは再びそれを聞いて知っています。令状を追跡します。何をするかを知らないしかし、私は決してあなたにあきらめている.誰かがただ通過して歌いながらランダム。くそ、kerongkonganku tercekat。「その歌好きです。好きですかそれ?」 天国ではないあまりにも遠く、それは?彼は同じ tersenyum-常に私夢中になった senyum。私はそれに答えるため取得できませんでした。私の脳は、忙しすぎて考える彼の笑顔とハグしたいという思いで obsesiku です。しかし、しないでください.場合は、これがすることはできませんか。
翻訳されて、しばらくお待ちください..
