Hingga kini, Gunung Raung masih meraung-raung dalam status siaga. Gunung setinggi 3.332 meter dari permukaan laut yang menjulang di perbatasan Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Sutubondo, Jawa Timur, itu masih terbatuk-batuk.
Asap kelabu hitam tebal keluar dari kawah ke arah barat laut atau Jember dan sekitarnya. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan radius 3 kilometer (km) dilarang ada aktivitas masyarakat. Adapun desa terdekat dair puncak kawah berada pada radius 8 km.
Selain merusak lahan pertanian, erupsi Gunung Raung ikut melumpuhkan lalu-lintas udara di sekitar Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Alhasil, pemerintah menutup lima bandar udara (bandara) pada 10 Juli lalu, sesuai Notice to Airmen atau NOTAM yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemhub).
Kelima bandara itu adalah Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali, Bandara Selaparang dan Bandara Internasional Lombok, Bandara Blimbingsari Banyuwangi, dan Bandara Notohadinegoro Jember. “NOTAM penutupan bandara akan terus diperbaharui dengan menyesuaikan kondisi nyata atas perkembangan penyebaran debu vulkanik Gunung Raung,” kata Juru Bicara Kemhub JA barata.
Otoritas pun menginstruksikan kepada maskapai penerbangan agar menghindari kawasan udara yang terpapar abu vulkanik demi keamanan dan keselamatan angkutan udara. “Abu vulkanik bisa melumpukan mesin pesawat,” katanya.
Bandara yang paling terdampak letusan Gunung Raung adalah Ngurah Rai. Setelah sempat dibuka, bandara internasional ini kembali ditutup pada 12 Juli menyusul Raung kembali memuntahkan abu.
Tak pelak, buka-tutup bandara memicu penumpukan ribuan calon penumpang. Kebetulan, saat itu, Bali tengah berada pada puncak musim turis dan kebanjiran pelancong Australia yang akan menghabiskan liburan sekolah.
Penutupan bandara dan pembatalan penerbangan ini terjadi sehari setelah operator Australia Jetstar dan Virgin Australia membatalkan semua penerbangan antara Australia dan Bali. Buntutnya, banyak turis asing yang terdampar di bandara. Celakanya, penerbangan domestik pun sudah penuh karena menjelang lebaran.
Kerugian ekonomi
Masalah belum usai. Soalnya erupsi Gunung Raung tidak bisa diprediksi kapan bakal berakhir. Sampai saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum mencabut status siaga Gunung Raung karena aktivitasnya masih tinggi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan, kondisi Gunung Raung yang terus-menerus erupsi sejak 29 Juni lalu, tentu menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang tidak sedikit. “Kerugian ekonomi, khususnya terkait penerbangan, pariwisata, dan bisnis,” sebutnya.
Memang, ganggung sebaran abu berujung kerugian cukup besar bagi maskapai penerbangan dan pengelola bandara. Apalagi pada H-1 lebaran, sebaran abu vulkanis Gunung Raung sempat menghentikan aktivitas penerbangan di Bandara Juanda Sidoarjo dan Bandara Abdurrahman Saleh Malang.
PT Angkasa Pura I mencatat, potensi pendapatan yang hilang (potential loss) akibat erupsi Gunung Raung sebesar Rp 8,4 miliar. Corporate Secretary Angkasa Pura I Farid Indra Nugraha bilang, penutupan bandara tentu akan menyebabkan hilangnya potensi pendapatan bagi perusahaan. “Ada potential loss sebesar Rp 8,4 miliar. Tapi bagi kami yang terpenting adalah terjaminnya keselamatan penerbangan dan kenyamanan penumpang,” katanya.
Kerugian sebesar itu berasal dari ditutupnya tiga bandara yang dikelola perseroan tersebut, yaitu Ngurah Rai, Lombok, dan Juanda. Farid memerinci, potential loss Rp 8,4 miliar merupakan pendapatan dari beberapa sumber. Pertama, pelayanan jasa pendapatan. Kedua, penempatan dan penyimpanan pesawat udara (PJP4U). Ketiga, pelayanan jasa penumpang pesawat udata (PJP2U). keempat, pelayanan garbarata (aviobridge) dan layanan baggage handling system (BHS) yang hilang selama bandara ditutup.
Angkasa Pura I membebaskan pengenaan PJP4U bagi perusahaan penerbangan dalam negeri dan luar negeri yang mengalami perubahan jadwal penerbangan, yakni return to base, diverted, long delay selama empat jam atau lebih. “Kebijakan ini diambil agar meringankan beban maskapai yang harus menanggung biaya operasional lebih akibat dampak abu vulkanik Gunung Raung,” jelas Farid.
Merujuk data Angkasa Pura I, sedikitnya 330 penerbangan mengalami pembatalan menyusul penutupan Bandara Ngurah Rai sejak 9 Juli 2015. Adapun total penumpang yang tidak terangkut sebanyak 36.641 orang.
Di Bandara Internasional Lombok yang ditutup pada 9 Juli 2015 dan dibuka kembali 10 Juli 2015, terdapat 40 pembatalan penerbangan, dengan jumlah penumpang mencapai 3.930 orang. Sedangkan di Bandara Juanda yang sempat ditutup pada 16 hingga 17 Juli 2015, ada 226 pembatalan penerbangan dengan total penumpang sebanyak 27.874 penumpang.
PT Gapura Angkasa, perusahaan ground handling terbesar di Indonesia, juga terkena dampak erupsi Gunung Raung. Bahkan kerugian sepanjang bulan ini semakin bertambah karena sebelumnya terjadi peristiwa kebakaran hebat di terminal 2F Bandara Soekarno-Hata. “Pesawat, kan, tidak terbang, sedangkan kami tetap memindahkan pesawat. Jadi biaya tetap keluar, tapi pendapatan tidak ada karena dihitung push back per keberangkatan,” ungkap Presiden Direktur PT Gapura Angkasa, Agus Priyanto.
Cuma, Agus belum bisa menyebutkan total kerugian tersebut dengan alasan masih dihitung dan laporan keuangan untuk bulan Juli belum keluar. Perusahaan pasrah saja karena penyebab hilangnya pemasukan adalah bencana alam yang tak terduga. “Ini bagian dari risiko bisnis aviasi,” tuturnya.
Semburan debu vulkanik Gunung Raung juga mengempaskan bisnis maskapai penerbangan. Salah satunya adalah garuda Indonesia. Maskapai terbesar di tanah air ini mengklaim merugi Rp 2 miliar. “Kami manage dengan baik sehingga kerugiannya hanya 2 miliar,” ungkap Direktur Keuangan Garuda Indonesia IGN Akshara Danadiputra.
Apabila digabung dengan kerugian saat kebakaran di terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta pada awal Juli lalu yang ditaksir senilai Rp 8,7 miliar, maka total kerugian dari maskapai pelat merah ini mencapai Rp 10,7 miliar.
Ikhsan Rosan, Plt Vice President Corporate Communications Garuda Indonesia memaparkan, penutupan lima bandara dari 9 Juli sampai 22 Juli mengakibatkan 364 penerbangan Garuda Indonesia dibatalkan. “Tapi dampaknya ke operasional kami saat terjadi erupsi saja,” bebernya.
Hanya saja, Garuda Indonesia langsung meminta penumpang agar me-reschedule dan me-reroute lewat penerbangan tambahan saat sistem penerbangan dibuka kembali. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pelayanan terhadap penumpang dalam kondisi force majeure yang tidak diinginkan tersebut.
Demikian juga maskapai Citilink Indonesia yang merupakan anak usaha garuda Indonesia, tak luput dari kerugian hingga belasan miliar rupiah. “Kami kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 10 miliar-15 miliar dari sekitar 60 penerbangan Citilink yang tertunda,” aku Direktur Utama Citilink Indonesia Albert Buhan.
Citilink mendata, selama pembatalan penerbangan penumpang lebih banyak memilih untuk reschedule ketimbang refund uang tiket. Menurut albert, hanya 20% yang melakukan refund dari nilai tersebut.
Vice President Corporate Communications Citilink Indonesia Benny S. Butarbutar mengakui, kerugian yang dialami akibat penutupan kembali bandara karena erupsi Gunung Raung semakin besar. Pasalnya, saat penutupan bandara pada 10 Juli lalu, total penumpang dari semua penerbangan yang dibatalkan mencapai 7.900 orang.
Kerugian ini tidak dapat dihindari karena erupsi Gunung Raung merupakan bencana alam yang di luar kuasa manusia. Benny menyatakan, sebagai bentuk pelayanan dan tanggung jawab terhadap penumpang, maskapai wajib mengembalikan apa yang menjadi hak konsumen meski merugi miliaran rupiah.
Tidak terkecuali maskapai Sriwijaya Air yang turut menanggung kerugian. Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communications Sriwijaya Air bilang, terdapat sekitar 20 penerbangan yang terganggung akibat letusan Raung. “Penerbangan kami yang terganggu berasal dari Bandara Soekano-Hatta yang tidak bisa mendarat, kemudian dari Bandara Ngurah Rai Bali, Makassar, Kupang, dan Lombok,” paparnya.
Cuma, Soedjono enggan menyebut berapa potensi pendapatan yang hilang akibat bencana alam tersebut. “Ini, kan, bencana alam, jangan bicarakan kerugian. Mesin-mesin pesawat kami juga aman tak ada gangguan karena efek abu,” kilahnya.
Yang pasti pengelola bandara dan maskapai sudah siap mengantisipasi jika kejadian serupa terulang. Tujuannya agar potential loss bisa ditekan sehingga tak mengganggu kinerja bisnis perusahaan. Yang tak kalah penting adalah memberikan pelayanan prima supaya tidak panen keluhan dari penumpang.
Soedjono mengutarakan, antisipasi penundaan penerbangan adalah meningkatkan layanan rebooking atau refund. “Tapi sebagian besar memang melakukan booking ulang untuk reschedule. Sedangkan yang refund sangat sedikit sekali, kurang dari 5%,” jelasnya.
Hal sama dilakukan Citilink. Menurut Benny, perseroan ini sudah memiliki standar operasional prosedur (SOP) dalam menghadapi situasi darurat seperti bencana alam. Berbekal kejadian yang lalu, Citilink telah siap mengantisipasi kondisi terburuk lewat koordinasi dengan BMKG dan Air Navigation Indonesia, terkait proses buka-tutup bandara. “Kami pun memprioritaskan penanganan dalam reschedule, reroute, dan refund,” ujarnya.
Selain itu, maskapai sudah menjalin kerjasama dengan operator transportasi angkutan darat, seperti kereta api, bus dan operator pelayaran untuk pengalihan penumpang. Dengan penanganan antisipatif, diharapkan pelayanan penerbangan tetap normal meski dalam situasi force majeure.
結果 (
日本語) 1:
[コピー]コピーしました!
Hingga kini, Gunung Raung masih meraung-raung dalam status siaga. Gunung setinggi 3.332 meter dari permukaan laut yang menjulang di perbatasan Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Sutubondo, Jawa Timur, itu masih terbatuk-batuk.Asap kelabu hitam tebal keluar dari kawah ke arah barat laut atau Jember dan sekitarnya. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan radius 3 kilometer (km) dilarang ada aktivitas masyarakat. Adapun desa terdekat dair puncak kawah berada pada radius 8 km.Selain merusak lahan pertanian, erupsi Gunung Raung ikut melumpuhkan lalu-lintas udara di sekitar Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Alhasil, pemerintah menutup lima bandar udara (bandara) pada 10 Juli lalu, sesuai Notice to Airmen atau NOTAM yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemhub).Kelima bandara itu adalah Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali, Bandara Selaparang dan Bandara Internasional Lombok, Bandara Blimbingsari Banyuwangi, dan Bandara Notohadinegoro Jember. “NOTAM penutupan bandara akan terus diperbaharui dengan menyesuaikan kondisi nyata atas perkembangan penyebaran debu vulkanik Gunung Raung,” kata Juru Bicara Kemhub JA barata.Otoritas pun menginstruksikan kepada maskapai penerbangan agar menghindari kawasan udara yang terpapar abu vulkanik demi keamanan dan keselamatan angkutan udara. “Abu vulkanik bisa melumpukan mesin pesawat,” katanya.Bandara yang paling terdampak letusan Gunung Raung adalah Ngurah Rai. Setelah sempat dibuka, bandara internasional ini kembali ditutup pada 12 Juli menyusul Raung kembali memuntahkan abu.Tak pelak, buka-tutup bandara memicu penumpukan ribuan calon penumpang. Kebetulan, saat itu, Bali tengah berada pada puncak musim turis dan kebanjiran pelancong Australia yang akan menghabiskan liburan sekolah.Penutupan bandara dan pembatalan penerbangan ini terjadi sehari setelah operator Australia Jetstar dan Virgin Australia membatalkan semua penerbangan antara Australia dan Bali. Buntutnya, banyak turis asing yang terdampar di bandara. Celakanya, penerbangan domestik pun sudah penuh karena menjelang lebaran.Kerugian ekonomiMasalah belum usai. Soalnya erupsi Gunung Raung tidak bisa diprediksi kapan bakal berakhir. Sampai saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum mencabut status siaga Gunung Raung karena aktivitasnya masih tinggi.Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan, kondisi Gunung Raung yang terus-menerus erupsi sejak 29 Juni lalu, tentu menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang tidak sedikit. “Kerugian ekonomi, khususnya terkait penerbangan, pariwisata, dan bisnis,” sebutnya.Memang, ganggung sebaran abu berujung kerugian cukup besar bagi maskapai penerbangan dan pengelola bandara. Apalagi pada H-1 lebaran, sebaran abu vulkanis Gunung Raung sempat menghentikan aktivitas penerbangan di Bandara Juanda Sidoarjo dan Bandara Abdurrahman Saleh Malang.PT Angkasa Pura I mencatat, potensi pendapatan yang hilang (potential loss) akibat erupsi Gunung Raung sebesar Rp 8,4 miliar. Corporate Secretary Angkasa Pura I Farid Indra Nugraha bilang, penutupan bandara tentu akan menyebabkan hilangnya potensi pendapatan bagi perusahaan. “Ada potential loss sebesar Rp 8,4 miliar. Tapi bagi kami yang terpenting adalah terjaminnya keselamatan penerbangan dan kenyamanan penumpang,” katanya.Kerugian sebesar itu berasal dari ditutupnya tiga bandara yang dikelola perseroan tersebut, yaitu Ngurah Rai, Lombok, dan Juanda. Farid memerinci, potential loss Rp 8,4 miliar merupakan pendapatan dari beberapa sumber. Pertama, pelayanan jasa pendapatan. Kedua, penempatan dan penyimpanan pesawat udara (PJP4U). Ketiga, pelayanan jasa penumpang pesawat udata (PJP2U). keempat, pelayanan garbarata (aviobridge) dan layanan baggage handling system (BHS) yang hilang selama bandara ditutup.Angkasa Pura I membebaskan pengenaan PJP4U bagi perusahaan penerbangan dalam negeri dan luar negeri yang mengalami perubahan jadwal penerbangan, yakni return to base, diverted, long delay selama empat jam atau lebih. “Kebijakan ini diambil agar meringankan beban maskapai yang harus menanggung biaya operasional lebih akibat dampak abu vulkanik Gunung Raung,” jelas Farid.Merujuk data Angkasa Pura I, sedikitnya 330 penerbangan mengalami pembatalan menyusul penutupan Bandara Ngurah Rai sejak 9 Juli 2015. Adapun total penumpang yang tidak terangkut sebanyak 36.641 orang.Di Bandara Internasional Lombok yang ditutup pada 9 Juli 2015 dan dibuka kembali 10 Juli 2015, terdapat 40 pembatalan penerbangan, dengan jumlah penumpang mencapai 3.930 orang. Sedangkan di Bandara Juanda yang sempat ditutup pada 16 hingga 17 Juli 2015, ada 226 pembatalan penerbangan dengan total penumpang sebanyak 27.874 penumpang.PT Gapura Angkasa, perusahaan ground handling terbesar di Indonesia, juga terkena dampak erupsi Gunung Raung. Bahkan kerugian sepanjang bulan ini semakin bertambah karena sebelumnya terjadi peristiwa kebakaran hebat di terminal 2F Bandara Soekarno-Hata. “Pesawat, kan, tidak terbang, sedangkan kami tetap memindahkan pesawat. Jadi biaya tetap keluar, tapi pendapatan tidak ada karena dihitung push back per keberangkatan,” ungkap Presiden Direktur PT Gapura Angkasa, Agus Priyanto.Cuma, Agus belum bisa menyebutkan total kerugian tersebut dengan alasan masih dihitung dan laporan keuangan untuk bulan Juli belum keluar. Perusahaan pasrah saja karena penyebab hilangnya pemasukan adalah bencana alam yang tak terduga. “Ini bagian dari risiko bisnis aviasi,” tuturnya.Semburan debu vulkanik Gunung Raung juga mengempaskan bisnis maskapai penerbangan. Salah satunya adalah garuda Indonesia. Maskapai terbesar di tanah air ini mengklaim merugi Rp 2 miliar. “Kami manage dengan baik sehingga kerugiannya hanya 2 miliar,” ungkap Direktur Keuangan Garuda Indonesia IGN Akshara Danadiputra.Apabila digabung dengan kerugian saat kebakaran di terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta pada awal Juli lalu yang ditaksir senilai Rp 8,7 miliar, maka total kerugian dari maskapai pelat merah ini mencapai Rp 10,7 miliar.Ikhsan Rosan, Plt Vice President Corporate Communications Garuda Indonesia memaparkan, penutupan lima bandara dari 9 Juli sampai 22 Juli mengakibatkan 364 penerbangan Garuda Indonesia dibatalkan. “Tapi dampaknya ke operasional kami saat terjadi erupsi saja,” bebernya.Hanya saja, Garuda Indonesia langsung meminta penumpang agar me-reschedule dan me-reroute lewat penerbangan tambahan saat sistem penerbangan dibuka kembali. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pelayanan terhadap penumpang dalam kondisi force majeure yang tidak diinginkan tersebut.Demikian juga maskapai Citilink Indonesia yang merupakan anak usaha garuda Indonesia, tak luput dari kerugian hingga belasan miliar rupiah. “Kami kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 10 miliar-15 miliar dari sekitar 60 penerbangan Citilink yang tertunda,” aku Direktur Utama Citilink Indonesia Albert Buhan.Citilink mendata, selama pembatalan penerbangan penumpang lebih banyak memilih untuk reschedule ketimbang refund uang tiket. Menurut albert, hanya 20% yang melakukan refund dari nilai tersebut.Vice President Corporate Communications Citilink Indonesia Benny S. Butarbutar mengakui, kerugian yang dialami akibat penutupan kembali bandara karena erupsi Gunung Raung semakin besar. Pasalnya, saat penutupan bandara pada 10 Juli lalu, total penumpang dari semua penerbangan yang dibatalkan mencapai 7.900 orang.
Kerugian ini tidak dapat dihindari karena erupsi Gunung Raung merupakan bencana alam yang di luar kuasa manusia. Benny menyatakan, sebagai bentuk pelayanan dan tanggung jawab terhadap penumpang, maskapai wajib mengembalikan apa yang menjadi hak konsumen meski merugi miliaran rupiah.
Tidak terkecuali maskapai Sriwijaya Air yang turut menanggung kerugian. Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communications Sriwijaya Air bilang, terdapat sekitar 20 penerbangan yang terganggung akibat letusan Raung. “Penerbangan kami yang terganggu berasal dari Bandara Soekano-Hatta yang tidak bisa mendarat, kemudian dari Bandara Ngurah Rai Bali, Makassar, Kupang, dan Lombok,” paparnya.
Cuma, Soedjono enggan menyebut berapa potensi pendapatan yang hilang akibat bencana alam tersebut. “Ini, kan, bencana alam, jangan bicarakan kerugian. Mesin-mesin pesawat kami juga aman tak ada gangguan karena efek abu,” kilahnya.
Yang pasti pengelola bandara dan maskapai sudah siap mengantisipasi jika kejadian serupa terulang. Tujuannya agar potential loss bisa ditekan sehingga tak mengganggu kinerja bisnis perusahaan. Yang tak kalah penting adalah memberikan pelayanan prima supaya tidak panen keluhan dari penumpang.
Soedjono mengutarakan, antisipasi penundaan penerbangan adalah meningkatkan layanan rebooking atau refund. “Tapi sebagian besar memang melakukan booking ulang untuk reschedule. Sedangkan yang refund sangat sedikit sekali, kurang dari 5%,” jelasnya.
Hal sama dilakukan Citilink. Menurut Benny, perseroan ini sudah memiliki standar operasional prosedur (SOP) dalam menghadapi situasi darurat seperti bencana alam. Berbekal kejadian yang lalu, Citilink telah siap mengantisipasi kondisi terburuk lewat koordinasi dengan BMKG dan Air Navigation Indonesia, terkait proses buka-tutup bandara. “Kami pun memprioritaskan penanganan dalam reschedule, reroute, dan refund,” ujarnya.
Selain itu, maskapai sudah menjalin kerjasama dengan operator transportasi angkutan darat, seperti kereta api, bus dan operator pelayaran untuk pengalihan penumpang. Dengan penanganan antisipatif, diharapkan pelayanan penerbangan tetap normal meski dalam situasi force majeure.
翻訳されて、しばらくお待ちください..
