ulan Juni ini kembali Pemerintah Indonesia memberangkatkan 198 perawat program Goverrment to Goverment (G to G) ke Jepang. Mereka adalah angkatan ke-7 terhitung sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani kesepakatan antara Indonesia dan Jepang tentang kemitraan ekonomi IJ-EPA (Indonesia Japan Economic Partnership) melalui Peraturan Presiden no. 36 tahun 2008. Setelah perjanjian tersebut berjalan selama 5 tahun, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menilai Indonesia tidak mendapatkan keuntungan signifikan atas kerja sama ekonomi dengan Jepang tersebut. Karena itu, Menperin telah mengusulkan agar Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) dikaji ulang sehingga kedua negara memperoleh manfaat secara seimbang (equal). "Sesuai basic agreement, IJ-EPA bisa di-review setelah 5 tahun berjalan. Selama ini IJ-EPA belum memberi manfaat yang memuaskan bagi Indonesia karena ekspor menurun sedangkan impor terus meningkat. Jadwalnya sedang kami minta," kata Hidayat seusai rapat koordinasi renegosiasi kontrak karya migas di kantor Kemenko Perekonomian.
Jika secara umum IJ-EPA dianggap tidak memberikan manfaat yang memuaskan kepada Indonesia, bagaimana dengan pengiriman tenaga profesional perawat Indonesia ke Jepang yang merupakan salah satu klausul kesepakatan dalam IJ-EPA? Di dalam IJ-EPA termuat kerjasama tentang pengiriman tenaga perawat dan caregiver lansia dari Indonesia ke Jepang. Mereka ditempatkan sebagai perawat (nurse/kango-shi) yang bekerja di rumah sakit dan caregiver (kaigofukushi-shi) yang bekerja di rumah peristirahatan lansia. Apakah pengiriman tenaga perawat ke Jepang sudah memberi manfaat bagi kedua belah pihak ataukah hanya menguntungkan bagi Jepang yang kekurangan tenaga perawat dengan gaji dibawah perawat Jepang? Melalui artikel ini penulis ingin mencoba melihat kebijakan pemerintah yang terkait pengiriman perawat dan caregiver Indonesia ke Jepang dan mencari solusi yang dapat bermanfaat bagi kedua belah pihak di Indonesia dan Jepang. Pemerintah Indonesia sudah cukup bergembira dengan terserapnya tenaga kerja ke luar negeri tanpa mengevaluasi kembali kesulitan perawat selama bekerja di Jepang dan setelah kembali ke tanah air.
Selama enam tahun penempatan perawat di jepang sejak tahun 2008 hingga sekarang, perawat yang dikirim ke Jepang saat ini berjumlah 1048 orang, yang meliputi 440 perawat di rumah sakit dan 608 perawat lansia berdasarkan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara BNP2TKI atas nama Pemerintah Indonesia dengan Japan Internasional Corporation for Welfare Sevices (JICWELS), lembaga bentukan pemerintah Jepang yang membawahi kerjasama G-to-G. Hal itu disampaikan oleh Deputi Bidang Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Agusdin Subiantoro (Suara Pembaharuan, Kamis 2/1/2014).
Untuk menjadi perawat di Jepang tidaklah mudah meskipun sesama tenaga perawat dan sudah melewati berbagai seleksi yang diadakan di Indonesia, perawat Indonesia masih harus berjuang lagi agar bisa mendapatkan sertifikat profesi (kaigofukusishi) supaya dapat melanjutkan kontrak dan mendapatkan gaji yang setara dengan perawat Jepang. Bila dalam 3 tahun gagal perawat (nurse) terpaksa harus pulang ke tanah air. Sedangkan bagi caregiver yang kontrak 4 tahun, ujian berlangsung satu kali diakhir masa kontrak, bila lulus mereka bisa meneruskan bekerja atau berhenti dan pulang ke Indonesia.
Saat ini, perawat yang lulus ujian nasional ada 235 orang terdiri dari 152 perawat lansia (caregiver) dan 83 perawat. Ujian sudah dilaksanakan lima kali sejak tahun 2010 sampai dengan 2014 bagi nurse dan tiga kali tahun 2012 sampai 2014 bagi perawat lansia. Jadi apabila dilihat dari prosentase kelulusan, hanya 22 % perawat Indonesia yang mengantongi sertifikat kelulusan. Lalu bagaimana dengan nurse dan caregiver lansia yang tidak lulus?. Tentu saja mereka akan pulang ke tanah air saat kontrak berakhir. Beberapa mencoba peruntungan kembali dengan mendaftar ulang dan mengikuti seleksi untuk dikirim periode berikutnya. Sebagian lagi mencari pekerjaan dengan mendaftar ke rumah sakit atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini menurut Agusdin, Deputi BNP2TKI, jumlah perawat yang kembali ke Indonesia karena selesai kontrak dan tidak lulus ujian sertifikasi berjumlah 410 orang terdiri dari nurse 237 orang dan 173 perawat lansia.
Tingginya angka ketidaklulusan perawat Indonesia disebabkan karena faktor bahasa, baik berbicara maupun menulis huruf kanji dan penggunaan istilah medis Jepang. Selain itu standar untuk kelulusan juga sangat tinggi, perawat juga dituntut menguasai sistem keperawatan, asuransi dan kesehatan di Jepang yang cukup rumit. Meskipun sebelum berangkat mereka sudah dibekali belajar bahasa Jepang dalam 6 bulan dan ditambah dengan belajar selama di Jepang, namun itu tidak cukup memadai untuk menguasai bahasa Jepang dalam waktu singkat, ditambah beban kerja selama di Jepang sehingga tidak cukup waktu bagi perawat Indonesia untuk belajar bahasa Jepang dan memahami sistem keperawatan di Jepang secara komprehensif.
Perawat Indonesia diberi kesempatan ujian sebanyak 3 kali (ditambah 1 kali kesempatan mengulang di tahun keempat) untuk nurse, sementara untuk caregiver Lansia mensyaratkan tiga tahun pengalaman kerja, sehingga hanya memiliki kesempatan sekali saja setelah tiga tahun (ditambah 1 kali kesempatan mengulang di tahun keempat).
Rendahnya angka kelulusan perawat Indonesia perlu dikaji ulang oleh pemerintah Indonesia, karena dengan banyaknya tenaga perawat Indonesia yang tidak lulus sertifikasi akan menguntungkan bagi Jepang, sebab setiap 3 tahun Jepang akan mendapat tenaga baru yang “fresh”. Biasanya tenaga baru ini akan lebih giat dan bersemangat bekerja. Di samping itu tenaga baru ini tidak menuntut banyak karena belum mengenal medan dan regulasi ketenagakerjaan di Jepang. Sebab apabila seorang perawat yang sudah besertifikat akan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja asli Jepang. Mereka bisa mendapat jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, bonus tahunan dan hak-hak lainnya.
Menurut salah seorang perawat yang bekerja sejak tahun 2008 sampai 2014 dan sudah mendapat sertifikat ujian negara (kaigofukusishi) pada tahun 2011, sebelum mendapatkan sertifikat kelulusan perawat Indonesia mendapat gaji antara 100 ribu yen sampai 150 ribu atau sekitar 1000-1500 USD. Dengan pendapatan seperti itu, mereka harus pintar menghemat pengeluaran untuk biaya tempat tinggal, biaya hidup dan transportasi. Namun ada juga yang mendapat fasilitas dari rumah sakit tempat mereka bekerja, mendapat tempat tinggal, free duty, asuransi, insentif dan fasilitas lain tergantung kebijakan tempat mereka bekerja.
Sebelum mendapat sertifikat ujian negara Jepang, perawat Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan khusus kepada pasien. Mereka bekerja sebagai asisten perawat yang melayani kebutuhan dasar pasien. Hal ini tidak seperti yang dibayangkan sebelum diberangkatkan ke Jepang. Bagi nurse yang bekerja di rumah sakit, di Indonesia mereka sudah bekerja di klinik minimal 2 tahun seperti yang disyaratkan sewaktu mendaftar. Sebagai perawat profesional, bekerja ke luar negeri (negara maju) adalah peluang untuk mendapatkan pengalaman, ilmu dan skill yang lebih banyak serta up date dari sisi teknologi yang berguna ketika pulang nanti. Namun kendala bahasa untuk mendapatkan sertifikat sehingga dapat bekerja penuh dan mandiri sebagai perawat sangat sulit untuk didapat.
Menurut perawat tersebut lebih lanjut, beberapa perawat Indonesia memilih untuk putus kontrak dan kembali ke Indonesia dengan berbagai alasan, salah satunya adalah beban kerja yang tinggi dan waktu bekerja yang lama. Rata-rata bekerja mulai 9-10 jam per hari. Budaya kerja orang Jepang yang menuntut ketepatan, disiplin, efisiensi dan kerja keras ternyata belum terbayangkan oleh perawat kita, kurangnya informasi sebelum keberangkatan tentang budaya kerja orang Jepang dirasakan oleh sebagian besar tenaga kerja perawat Indonesia. Apalagi mereka harus juga belajar keras disela-sela waktu bekerja. Ada rumah sakit yang memberikan keluasan waktu untuk belajar bahkan ditawarkan pembimbing, namun banyak juga yang harus bekerja penuh dan hanya memanfaatkan waktu libur untuk belajar bahasa Jepang dan Keperawatan.
Di samping itu, hal yang menjadi penghambat adalah adanya perbedaan budaya Jepang dengan Indonesia. Tenaga Perawat Indonesia yang mayoritas beragama Islam memerlukan waktu khusus dalam beribadah. Tetapi 46% rumah sakit di Jepang belum bisa menerima pekerja asing dengan latar belakang budaya yang berbeda. Bagi muslimah walaupun sudah ada kesepakatan awal untuk tetap menggunakan hijab harus mengikuti pakaian yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit. Hal ini dirasakan terlalu menyulitkan oleh orang Jepang yang mementingkan kedisiplinan, efisiensi dan ketepatan waktu, tetapi kurang mau mempertimbangkan alasan-alasan keagamaan dalam mempekerjakan orang asing. Perbedaan budaya inilah yang menjadi salah satu hambatan dan tantangan. Sekitar 50% lebih rumah sakit dan universitas besar di Jepang menolak untuk mempekerjakan perawat dari Indonesia karena alasan alasan tersebut di atas, yakni mereka kesulitan untuk mengadaptasikan budaya (termasuk agama) dan bahasa Indonesia. Mereka memerlukan persiapan dan pembelajaran yang lebih matang tentang perbedaan ini, sebelum mereka menerimanya.
Masalah lain yang harus diselesaikan adalah ke mana perawat mantan IJ-EPA tersebut bekerja setelah kembali ke tanah air? Alasan utama kembalinya perawat ke tanah air adalah disebabkan berakhirnya masa kontrak dan tidak lulus ujian sertifikasi. Hampir seluruh perawat sudah berhasil menyelesaikan tugas sesuai kontrak yang disepakati. Pemerintah harus memikirkan kemana mantan tenaga perawat eks IJ-EPA tersebut ditempatkan. Pada akhir 2013 yang lalu kedutaan Jepang mengadakan job fair untuk menyalurkan tenaga perawat yang pulang ke Indonesia kepada k
結果 (
日本語) 1:
[コピー]コピーしました!
ulan Juni ini kembali Pemerintah Indonesia memberangkatkan 198 perawat program Goverrment to Goverment (G to G) ke Jepang. Mereka adalah angkatan ke-7 terhitung sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani kesepakatan antara Indonesia dan Jepang tentang kemitraan ekonomi IJ-EPA (Indonesia Japan Economic Partnership) melalui Peraturan Presiden no. 36 tahun 2008. Setelah perjanjian tersebut berjalan selama 5 tahun, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menilai Indonesia tidak mendapatkan keuntungan signifikan atas kerja sama ekonomi dengan Jepang tersebut. Karena itu, Menperin telah mengusulkan agar Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) dikaji ulang sehingga kedua negara memperoleh manfaat secara seimbang (equal). "Sesuai basic agreement, IJ-EPA bisa di-review setelah 5 tahun berjalan. Selama ini IJ-EPA belum memberi manfaat yang memuaskan bagi Indonesia karena ekspor menurun sedangkan impor terus meningkat. Jadwalnya sedang kami minta," kata Hidayat seusai rapat koordinasi renegosiasi kontrak karya migas di kantor Kemenko Perekonomian.Jika secara umum IJ-EPA dianggap tidak memberikan manfaat yang memuaskan kepada Indonesia, bagaimana dengan pengiriman tenaga profesional perawat Indonesia ke Jepang yang merupakan salah satu klausul kesepakatan dalam IJ-EPA? Di dalam IJ-EPA termuat kerjasama tentang pengiriman tenaga perawat dan caregiver lansia dari Indonesia ke Jepang. Mereka ditempatkan sebagai perawat (nurse/kango-shi) yang bekerja di rumah sakit dan caregiver (kaigofukushi-shi) yang bekerja di rumah peristirahatan lansia. Apakah pengiriman tenaga perawat ke Jepang sudah memberi manfaat bagi kedua belah pihak ataukah hanya menguntungkan bagi Jepang yang kekurangan tenaga perawat dengan gaji dibawah perawat Jepang? Melalui artikel ini penulis ingin mencoba melihat kebijakan pemerintah yang terkait pengiriman perawat dan caregiver Indonesia ke Jepang dan mencari solusi yang dapat bermanfaat bagi kedua belah pihak di Indonesia dan Jepang. Pemerintah Indonesia sudah cukup bergembira dengan terserapnya tenaga kerja ke luar negeri tanpa mengevaluasi kembali kesulitan perawat selama bekerja di Jepang dan setelah kembali ke tanah air.Selama enam tahun penempatan perawat di jepang sejak tahun 2008 hingga sekarang, perawat yang dikirim ke Jepang saat ini berjumlah 1048 orang, yang meliputi 440 perawat di rumah sakit dan 608 perawat lansia berdasarkan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara BNP2TKI atas nama Pemerintah Indonesia dengan Japan Internasional Corporation for Welfare Sevices (JICWELS), lembaga bentukan pemerintah Jepang yang membawahi kerjasama G-to-G. Hal itu disampaikan oleh Deputi Bidang Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Agusdin Subiantoro (Suara Pembaharuan, Kamis 2/1/2014).Untuk menjadi perawat di Jepang tidaklah mudah meskipun sesama tenaga perawat dan sudah melewati berbagai seleksi yang diadakan di Indonesia, perawat Indonesia masih harus berjuang lagi agar bisa mendapatkan sertifikat profesi (kaigofukusishi) supaya dapat melanjutkan kontrak dan mendapatkan gaji yang setara dengan perawat Jepang. Bila dalam 3 tahun gagal perawat (nurse) terpaksa harus pulang ke tanah air. Sedangkan bagi caregiver yang kontrak 4 tahun, ujian berlangsung satu kali diakhir masa kontrak, bila lulus mereka bisa meneruskan bekerja atau berhenti dan pulang ke Indonesia.Saat ini, perawat yang lulus ujian nasional ada 235 orang terdiri dari 152 perawat lansia (caregiver) dan 83 perawat. Ujian sudah dilaksanakan lima kali sejak tahun 2010 sampai dengan 2014 bagi nurse dan tiga kali tahun 2012 sampai 2014 bagi perawat lansia. Jadi apabila dilihat dari prosentase kelulusan, hanya 22 % perawat Indonesia yang mengantongi sertifikat kelulusan. Lalu bagaimana dengan nurse dan caregiver lansia yang tidak lulus?. Tentu saja mereka akan pulang ke tanah air saat kontrak berakhir. Beberapa mencoba peruntungan kembali dengan mendaftar ulang dan mengikuti seleksi untuk dikirim periode berikutnya. Sebagian lagi mencari pekerjaan dengan mendaftar ke rumah sakit atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini menurut Agusdin, Deputi BNP2TKI, jumlah perawat yang kembali ke Indonesia karena selesai kontrak dan tidak lulus ujian sertifikasi berjumlah 410 orang terdiri dari nurse 237 orang dan 173 perawat lansia.看護師 ketidaklulusan インドネシア語を話すまたは書く漢字と日本の医学用語の使用の要因の数が多い。標準に加えて卒業も非常に高く、看護師もマスター看護システムする必要が、保険と日本の健康が非常に複雑。彼らは 6 ヶ月と日本と日本の研究の中で言語を習得する前に提供していたが、インドネシア看護師日本言語を習得し、総合的に日本の看護のシステムを理解するためのかなりの時間じゃないので短時間に加えて、日本中にワークロードの日本の言語をマスターするには十分ではありません。機会を与えられた看護師インドネシア看護師、高齢者の介護者として 3 回 (プラス 1 回 4 年繰り返しのチャンス) 必要な 3 年の実務経験、試験これだけ三年 (プラス 1 回 4 年繰り返しのチャンス) 後一度だけチャンスがあります。Rendahnya angka kelulusan perawat Indonesia perlu dikaji ulang oleh pemerintah Indonesia, karena dengan banyaknya tenaga perawat Indonesia yang tidak lulus sertifikasi akan menguntungkan bagi Jepang, sebab setiap 3 tahun Jepang akan mendapat tenaga baru yang “fresh”. Biasanya tenaga baru ini akan lebih giat dan bersemangat bekerja. Di samping itu tenaga baru ini tidak menuntut banyak karena belum mengenal medan dan regulasi ketenagakerjaan di Jepang. Sebab apabila seorang perawat yang sudah besertifikat akan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja asli Jepang. Mereka bisa mendapat jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, bonus tahunan dan hak-hak lainnya.
Menurut salah seorang perawat yang bekerja sejak tahun 2008 sampai 2014 dan sudah mendapat sertifikat ujian negara (kaigofukusishi) pada tahun 2011, sebelum mendapatkan sertifikat kelulusan perawat Indonesia mendapat gaji antara 100 ribu yen sampai 150 ribu atau sekitar 1000-1500 USD. Dengan pendapatan seperti itu, mereka harus pintar menghemat pengeluaran untuk biaya tempat tinggal, biaya hidup dan transportasi. Namun ada juga yang mendapat fasilitas dari rumah sakit tempat mereka bekerja, mendapat tempat tinggal, free duty, asuransi, insentif dan fasilitas lain tergantung kebijakan tempat mereka bekerja.
Sebelum mendapat sertifikat ujian negara Jepang, perawat Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan khusus kepada pasien. Mereka bekerja sebagai asisten perawat yang melayani kebutuhan dasar pasien. Hal ini tidak seperti yang dibayangkan sebelum diberangkatkan ke Jepang. Bagi nurse yang bekerja di rumah sakit, di Indonesia mereka sudah bekerja di klinik minimal 2 tahun seperti yang disyaratkan sewaktu mendaftar. Sebagai perawat profesional, bekerja ke luar negeri (negara maju) adalah peluang untuk mendapatkan pengalaman, ilmu dan skill yang lebih banyak serta up date dari sisi teknologi yang berguna ketika pulang nanti. Namun kendala bahasa untuk mendapatkan sertifikat sehingga dapat bekerja penuh dan mandiri sebagai perawat sangat sulit untuk didapat.
Menurut perawat tersebut lebih lanjut, beberapa perawat Indonesia memilih untuk putus kontrak dan kembali ke Indonesia dengan berbagai alasan, salah satunya adalah beban kerja yang tinggi dan waktu bekerja yang lama. Rata-rata bekerja mulai 9-10 jam per hari. Budaya kerja orang Jepang yang menuntut ketepatan, disiplin, efisiensi dan kerja keras ternyata belum terbayangkan oleh perawat kita, kurangnya informasi sebelum keberangkatan tentang budaya kerja orang Jepang dirasakan oleh sebagian besar tenaga kerja perawat Indonesia. Apalagi mereka harus juga belajar keras disela-sela waktu bekerja. Ada rumah sakit yang memberikan keluasan waktu untuk belajar bahkan ditawarkan pembimbing, namun banyak juga yang harus bekerja penuh dan hanya memanfaatkan waktu libur untuk belajar bahasa Jepang dan Keperawatan.
Di samping itu, hal yang menjadi penghambat adalah adanya perbedaan budaya Jepang dengan Indonesia. Tenaga Perawat Indonesia yang mayoritas beragama Islam memerlukan waktu khusus dalam beribadah. Tetapi 46% rumah sakit di Jepang belum bisa menerima pekerja asing dengan latar belakang budaya yang berbeda. Bagi muslimah walaupun sudah ada kesepakatan awal untuk tetap menggunakan hijab harus mengikuti pakaian yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit. Hal ini dirasakan terlalu menyulitkan oleh orang Jepang yang mementingkan kedisiplinan, efisiensi dan ketepatan waktu, tetapi kurang mau mempertimbangkan alasan-alasan keagamaan dalam mempekerjakan orang asing. Perbedaan budaya inilah yang menjadi salah satu hambatan dan tantangan. Sekitar 50% lebih rumah sakit dan universitas besar di Jepang menolak untuk mempekerjakan perawat dari Indonesia karena alasan alasan tersebut di atas, yakni mereka kesulitan untuk mengadaptasikan budaya (termasuk agama) dan bahasa Indonesia. Mereka memerlukan persiapan dan pembelajaran yang lebih matang tentang perbedaan ini, sebelum mereka menerimanya.
Masalah lain yang harus diselesaikan adalah ke mana perawat mantan IJ-EPA tersebut bekerja setelah kembali ke tanah air? Alasan utama kembalinya perawat ke tanah air adalah disebabkan berakhirnya masa kontrak dan tidak lulus ujian sertifikasi. Hampir seluruh perawat sudah berhasil menyelesaikan tugas sesuai kontrak yang disepakati. Pemerintah harus memikirkan kemana mantan tenaga perawat eks IJ-EPA tersebut ditempatkan. Pada akhir 2013 yang lalu kedutaan Jepang mengadakan job fair untuk menyalurkan tenaga perawat yang pulang ke Indonesia kepada k
翻訳されて、しばらくお待ちください..
