YAYASAN TONAN ASIA BUNKA YUKO KYOKAI
Cermin Perjuangan Luhur
Serdadu Jepang yang tetap tinggal adalah para anggota Tentara Kekaisaran Jepang dalam Perang Asia Pasifik yang setelah Kapitulasi Jepang Agustus 1945 yang menandai akhir Perang Dunia II, secara tegas meragukan kebenaran penyerahan formal kekaisaran Jepang karena prinsip dogmatis atau militeristik yang kuat atau tidak menyadari hal itu karena komunikasi yang terputus karena strategi perang Lompatan Pulau yang dijalankan Amerika serikat.
Walaupun perang telah berakhir, mereka terus berperang melawan pasukan pendudukan, dan kemudian juga polisi setempat, bertahun-tahun setelah perang berakhir. Tentara jepang yang menolak menyerah lainnya juga menjadi sukarelawan dalam Perang Indocina yang pertama dan Perang Kemerdekaan Indonesia.
Petugas Intelijen Hiroo Onoda, yang menyerah di Pulau lubang, Filipina bulan Maret 1974, dan Teruo Nakamura, yang menyerah di Pulau Morotai di Indonesia pada bulan Desember 1974 tampaknya telah dikonfirmasi sebagai tentara Jepang terakhir yang menolak menyerah.
Sebagian diantara mereka yang tetap tinggal akhirnya menikah dengan wanita pribumi dan melahirkan anak keturunan yang tersebar di Indocina dan Indonesia. Anak keturunan mereka tentu saja butuh kehidupan yang layak, pendidikan dan kesehatan untuk meraih masa depan yang baik.
Perbedaan kewarganegaraan tentu saja menjadi kendala administratif dan birokrasi bagi pemerintah Jepang paska Perang Dunia II. Namun dalam diri mereka mengalir darah kebangsaan Jepang, untuk menghapus berbagai kendala dan untuk meraih tujuan tersebut Mr. Riyochi Koto mendirikan Yayasan Tonan Asia Bunka Yuko Kyokai, sebuah lembaga yang peduli terhadap masa depan anak-anak keturunan Jepang di wilayah Asia Tenggara termasuk yang terbesar di Indonesia. Yayasan ini mencoba untuk menunjukkan tanggung jawab moral terhadap anak-anak keturunan serdadu Jepang.
Yayasan ini berdiri untuk menebar cinta dan kasih sayang dalam rangka merubah penderitaan menjadi harapan, cita-cita menjadi kenyataan, dan menjaga martabat manusia.
Kebanyakan orang melihat masalah cinta ini pertama-tama sebagai masalah di cintai. Lebih dari itu, masalah yang di cintai yaitu masalah kemampuan orang untuk mencintai maka masalahnya bagi mereka adalah bagaimana supaya dicintai. Setiap orang membutuhkan untuk mencintai dan dicintai. Cinta bukanlah hubungan dengan seseorang tertentu, cinta adalah sikap, sesuatu orientasi watak yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan menuju objek cinta. Jika seorang pribadi hanya mencintai suatu pribadi yang lain dan acuh tak acuh terhadap yang lain, cintanya bukanlah cinta ; ikatan simbolik atau egois yang diperluas. Menyatakan cinta adalah suatu orientasi yang menunjukan pada segalanya dan bukan pada salah satu hal saja.
Persaudaraan adalah cinta diantara sesame, tetapi sungguh baik sebagai sesame, kita tidak selalu “sama”. Jauh kita bersifat manusiawi, kita membutuhkan bantuan. Hari ini saya, besok engkau. Tetapi kebutuhan akan bantuan ini tidak berarti bahwa yang satu ini tak berdaya, yang lain berkuasa. Ketidakberdayaan itu adalah bersifat sementara, kemampuan untuk berdiri dan berjalan diatas kaki sendiri adalah tetap dan sama.
Kebanyakan orang menganggap bahwa cinta itu suatu perasaan atau emosi saja. Hal sebenarnya tidaklah demikian, memang sudah jelas bahwa perasaan ada hubungannya dengan cinta. Perasaan cinta yang pertama biasanya dialami dalam bentuk perasaan yang sangat kuat. Namun dalam perkembangan suatu ikatan cinta, kadang-kadang mengalami musim kemarau Jelas bahwa perasaan ada hubungannya dengan cinta. Perasaan cinta yang pertama biasanya dialami dalam bentuk perasaan yang sangat kuat. Namun dalam perkembangan suatu ikatan cinta, kadang-kadang mengalami musim kemarau berupa perasaan tidak puas diikuti musim pembaharuan cinta yang subur. Celakalah kalau cinta disamakan perasaan, sebab perasaan selalu berubah-ubah tak menentu. Namun celaka pula kalau kehendak mencintai tidak ditunjang oleh perasaan yang hangat, penuh kasih sayang. Sebagai Erich Fromm menulis cinta itu suatu tindakan yang aktif bukan perasaan yang pasif, kita berdiri dalam cinta, tidak jatuh kedalamnya. Sifat aktif cinta itu dapat dilukiskan dengan menekankan bahwa cinta itu terutama memberi dan bukan menerima. Demikianlah cinta itu merupakan suatu ikatan yang lahir dalam ikatan yang matang. Ikatan cinta pada tingkatan apapun haruslah merupakan ikatan langgeng menjadi hidup. Cinta yang efektif cinta seperti ujung di ball point yang dapat dipijat keluar dan dipijat masuk. Cinta itu berpraduga, ada dan melakukan banyak hal. Pada pokoknya cinta diamalkan dalam kebersamaan dan saling berbagi.
Manusia adalah makhluk sosial yang mengalami berbagai liku kehidupan. Dimana di dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya akan selalu tergantung dengan manusia yang lain. Dalam usahanya untuk hidup, manusia sering mengalami penderitaan. Dari hari ke hari, kita sering kali mendengar atau menyaksikan penderitaan-penderitaan yang dialami oleh sesama umat manusia. Penderitaan-penderitaan tersebut beranekaragamnya. Ada penderitaan yang terjadi karena bencana alam, seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir dan sébagainya. Adapula penderitaan yang terjadi karena musibah karena kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kereta api, atau kebakaran dan sebagainya. Disamping itu juga ada penderitaan yang disebabkan berkecamuknya peperangan, penindasan, perbudakan dan sebagainya.
Anak-anak keturunan Jepang yang disantuni oleh Yayasan ini adalah anak-anak yang menderita akibat berkecamuknya peperangan. Aneka macam dan manifestasi penderitaan yang menimpa umat manusia di muka bumi ini, tentunya tidak arif dan bijaksana kalau kita tak bersimpati dan berusaha membebaskan mereka dan penderitaaan-penderitaan yang dimaksud. Marilah tidak usah jauh-jauh mengambil contoh atau ilustrasi. Kalau kita berjalan-jalan di tempat-tempat perbelanjaan misalnya, apakah di pusat-pusat pertokoan ataukah di pusat-pusat pasar, niscaya banyak kita jumpai peminta-minta atau pengemis, yang terlihat amat memilukan hati. Cobalah kita amati beberapa saat para pengemis di tepi jaIan yang kebetulan ramai dilalui pejalan kaki yang ramai. Beberapa orangkah yang lewat didepan pengemis tersebut dan jelas-jelas mengetahui keberadaan pengemis itu, dan jumlah orang yang lewat itu, berapakah “yang mengulurkan tangan untuk meringankan penderitaan si pengemis tadi?” kemudian diantara mereka yang “mengulurkan tangan” guna memberikan bantuan itu, berapakah jumlah rata-rata pemberian bantuan mereka? Dalam pada itu, amati juga kelengkapan fisik yang dipakai oleh pejalan kaki yang lewat tadi seperti pakaiannya, sepatunya, perhiasannya, arlojinya, kacamatanya, dan sebagainya. Dari hasil pengamatan tersebut lalu bandingkanlah “besar rasa simpati” mereka terhadap pengemis tadi dengan “harga kelengkapan fisik” yang mereka pakai. Setelah kita bandingkan barangkali kita akan tercengang. Betapa tidak?
Barangkali ada ibu yang ditangannya ada berlian seharga jutaan rupiah, namun tak memberikan “uluran tangan” sepeser pun. Barang kali ada seorang bapak yang di pergelangan tangannya yang memakai jam mewah seharga jutaan rupiah, sementara di kakinya beralaskan sepatu kualitas premium yang berharga jutaan rupiah pula, namun hanya memberikan seribu rupiah kepada si pengemis tadi. Barang kali ada pula gadis remaja yang membawa laptop mahal dengan bau parfum yang berharga mahal akan tetapi tak memberi se-sen pun kepada pengemis tadi. Kalau diteruskan tak mustahil kita akan “mengelus dada” sambil mengatakan sungguh tega mereka berlalu begitu saja di hadapan pengemis yang amat menderita itu, padahal di sekujur tubuhnya melekat atribut-atribut yang melambangkan “kemewahan” mereka. Dari ilustrasi tadi, bisa dilontarkan suatu pertanyaan yang amat mendasar yaitu: mahal manakah harga manusia dengan harga rambut kita? mahal manakah harga manusia dengan harga telapak kaki kita? mahal manakah harga manusia dengan harga ketiak kita? mahal manakah harga manusia dengan “kepuasan memperindah atau mempercantik wajah kita”. Mahal manakah harga manusia dengan hewan di rumah kita seperti anjing, burung dan sebagainya.
Yayasan Tonan Asia Bunka Yuko Kyokai berusaha menghargai manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai bentuk perjuangan luhurnya. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tak terhitung banyaknya gerakan dan perjuangan luhur yang dimaksudkan untuk membebaskan penderitaan sesama manusia, apakah gerakan atau perjuangan itu tergolong besar atau kecil. Kehadiran agama-agama besar di muka bumi ini, juga tak terlepas dan nafas hendak membebaskan suatu kaum atau suatu umat. Perjuangan politik dan bersenjata suatu bangsa dalam mendapatkan kemerdekaan, tak terlepas dari motivasi menghapuskan penindasan dan eksploitasi sesama manusia, jadi untuk membebaskan penderitaan manusia juga. Revolusi untuk menumbangkan rezim yang olim seperti revolusi Prancis juga untuk terlepas dari penindasan atau eksploitasi terhadap sesama manusia. jadi dimotori oleh rasa tanggungjawab terhadap penderitaan sesama manusia juga. Juga suatu manifestasi dari niat dan perjuangan luhur untuk menolong sesama manusia. munculah panti-panti asuhan, baik untuk anak-anak terlantar maupun untuk orang-orang tua jompo, juga merupakan suatu upaya untuk membebaskan penderitaan sesama manusia. Pendek kata, begitu banyak rupa upaya dan perjuangan luhur yang tampil dalam “panggung peradaban” manusia ini di dalam rangka membebaskan penderitaan yang di alami sesama manusia. Untuk itulah Yayasan Tonan Asia Bunka Yuko Kyokai hadir sebagai cermin perjuangan luhur anak manusia. selamat ulang tahun yang ke-50.
YAYASAN TONAN ASIA BUNKA YUKO KYOKAI
Cermin Perjuangan Luhur
Serdadu Jepang yang tetap tinggal adalah para anggota Tentara Kekaisaran Jepang dalam Perang Asia Pasifik yang setelah Kapitulasi Jepang Agustus 1945 yang menandai akhir Perang Dunia II, secara tegas meragukan kebenaran penyerahan formal kekaisaran Jepang karena prinsip dogmatis atau militeristik yang kuat atau tidak menyadari hal itu karena komunikasi yang terputus karena strategi perang Lompatan Pulau yang dijalankan Amerika serikat.
Walaupun perang telah berakhir, mereka terus berperang melawan pasukan pendudukan, dan kemudian juga polisi setempat, bertahun-tahun setelah perang berakhir. Tentara jepang yang menolak menyerah lainnya juga menjadi sukarelawan dalam Perang Indocina yang pertama dan Perang Kemerdekaan Indonesia.
Petugas Intelijen Hiroo Onoda, yang menyerah di Pulau lubang, Filipina bulan Maret 1974, dan Teruo Nakamura, yang menyerah di Pulau Morotai di Indonesia pada bulan Desember 1974 tampaknya telah dikonfirmasi sebagai tentara Jepang terakhir yang menolak menyerah.
Sebagian diantara mereka yang tetap tinggal akhirnya menikah dengan wanita pribumi dan melahirkan anak keturunan yang tersebar di Indocina dan Indonesia. Anak keturunan mereka tentu saja butuh kehidupan yang layak, pendidikan dan kesehatan untuk meraih masa depan yang baik.
Perbedaan kewarganegaraan tentu saja menjadi kendala administratif dan birokrasi bagi pemerintah Jepang paska Perang Dunia II. Namun dalam diri mereka mengalir darah kebangsaan Jepang, untuk menghapus berbagai kendala dan untuk meraih tujuan tersebut Mr. Riyochi Koto mendirikan Yayasan Tonan Asia Bunka Yuko Kyokai, sebuah lembaga yang peduli terhadap masa depan anak-anak keturunan Jepang di wilayah Asia Tenggara termasuk yang terbesar di Indonesia. Yayasan ini mencoba untuk menunjukkan tanggung jawab moral terhadap anak-anak keturunan serdadu Jepang.
Yayasan ini berdiri untuk menebar cinta dan kasih sayang dalam rangka merubah penderitaan menjadi harapan, cita-cita menjadi kenyataan, dan menjaga martabat manusia.
Kebanyakan orang melihat masalah cinta ini pertama-tama sebagai masalah di cintai. Lebih dari itu, masalah yang di cintai yaitu masalah kemampuan orang untuk mencintai maka masalahnya bagi mereka adalah bagaimana supaya dicintai. Setiap orang membutuhkan untuk mencintai dan dicintai. Cinta bukanlah hubungan dengan seseorang tertentu, cinta adalah sikap, sesuatu orientasi watak yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan menuju objek cinta. Jika seorang pribadi hanya mencintai suatu pribadi yang lain dan acuh tak acuh terhadap yang lain, cintanya bukanlah cinta ; ikatan simbolik atau egois yang diperluas. Menyatakan cinta adalah suatu orientasi yang menunjukan pada segalanya dan bukan pada salah satu hal saja.
Persaudaraan adalah cinta diantara sesame, tetapi sungguh baik sebagai sesame, kita tidak selalu “sama”. Jauh kita bersifat manusiawi, kita membutuhkan bantuan. Hari ini saya, besok engkau. Tetapi kebutuhan akan bantuan ini tidak berarti bahwa yang satu ini tak berdaya, yang lain berkuasa. Ketidakberdayaan itu adalah bersifat sementara, kemampuan untuk berdiri dan berjalan diatas kaki sendiri adalah tetap dan sama.
Kebanyakan orang menganggap bahwa cinta itu suatu perasaan atau emosi saja. Hal sebenarnya tidaklah demikian, memang sudah jelas bahwa perasaan ada hubungannya dengan cinta. Perasaan cinta yang pertama biasanya dialami dalam bentuk perasaan yang sangat kuat. Namun dalam perkembangan suatu ikatan cinta, kadang-kadang mengalami musim kemarau Jelas bahwa perasaan ada hubungannya dengan cinta. Perasaan cinta yang pertama biasanya dialami dalam bentuk perasaan yang sangat kuat. Namun dalam perkembangan suatu ikatan cinta, kadang-kadang mengalami musim kemarau berupa perasaan tidak puas diikuti musim pembaharuan cinta yang subur. Celakalah kalau cinta disamakan perasaan, sebab perasaan selalu berubah-ubah tak menentu. Namun celaka pula kalau kehendak mencintai tidak ditunjang oleh perasaan yang hangat, penuh kasih sayang. Sebagai Erich Fromm menulis cinta itu suatu tindakan yang aktif bukan perasaan yang pasif, kita berdiri dalam cinta, tidak jatuh kedalamnya. Sifat aktif cinta itu dapat dilukiskan dengan menekankan bahwa cinta itu terutama memberi dan bukan menerima. Demikianlah cinta itu merupakan suatu ikatan yang lahir dalam ikatan yang matang. Ikatan cinta pada tingkatan apapun haruslah merupakan ikatan langgeng menjadi hidup. Cinta yang efektif cinta seperti ujung di ball point yang dapat dipijat keluar dan dipijat masuk. Cinta itu berpraduga, ada dan melakukan banyak hal. Pada pokoknya cinta diamalkan dalam kebersamaan dan saling berbagi.
Manusia adalah makhluk sosial yang mengalami berbagai liku kehidupan. Dimana di dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya akan selalu tergantung dengan manusia yang lain. Dalam usahanya untuk hidup, manusia sering mengalami penderitaan. Dari hari ke hari, kita sering kali mendengar atau menyaksikan penderitaan-penderitaan yang dialami oleh sesama umat manusia. Penderitaan-penderitaan tersebut beranekaragamnya. Ada penderitaan yang terjadi karena bencana alam, seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir dan sébagainya. Adapula penderitaan yang terjadi karena musibah karena kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kereta api, atau kebakaran dan sebagainya. Disamping itu juga ada penderitaan yang disebabkan berkecamuknya peperangan, penindasan, perbudakan dan sebagainya.
Anak-anak keturunan Jepang yang disantuni oleh Yayasan ini adalah anak-anak yang menderita akibat berkecamuknya peperangan. Aneka macam dan manifestasi penderitaan yang menimpa umat manusia di muka bumi ini, tentunya tidak arif dan bijaksana kalau kita tak bersimpati dan berusaha membebaskan mereka dan penderitaaan-penderitaan yang dimaksud. Marilah tidak usah jauh-jauh mengambil contoh atau ilustrasi. Kalau kita berjalan-jalan di tempat-tempat perbelanjaan misalnya, apakah di pusat-pusat pertokoan ataukah di pusat-pusat pasar, niscaya banyak kita jumpai peminta-minta atau pengemis, yang terlihat amat memilukan hati. Cobalah kita amati beberapa saat para pengemis di tepi jaIan yang kebetulan ramai dilalui pejalan kaki yang ramai. Beberapa orangkah yang lewat didepan pengemis tersebut dan jelas-jelas mengetahui keberadaan pengemis itu, dan jumlah orang yang lewat itu, berapakah “yang mengulurkan tangan untuk meringankan penderitaan si pengemis tadi?” kemudian diantara mereka yang “mengulurkan tangan” guna memberikan bantuan itu, berapakah jumlah rata-rata pemberian bantuan mereka? Dalam pada itu, amati juga kelengkapan fisik yang dipakai oleh pejalan kaki yang lewat tadi seperti pakaiannya, sepatunya, perhiasannya, arlojinya, kacamatanya, dan sebagainya. Dari hasil pengamatan tersebut lalu bandingkanlah “besar rasa simpati” mereka terhadap pengemis tadi dengan “harga kelengkapan fisik” yang mereka pakai. Setelah kita bandingkan barangkali kita akan tercengang. Betapa tidak?
Barangkali ada ibu yang ditangannya ada berlian seharga jutaan rupiah, namun tak memberikan “uluran tangan” sepeser pun. Barang kali ada seorang bapak yang di pergelangan tangannya yang memakai jam mewah seharga jutaan rupiah, sementara di kakinya beralaskan sepatu kualitas premium yang berharga jutaan rupiah pula, namun hanya memberikan seribu rupiah kepada si pengemis tadi. Barang kali ada pula gadis remaja yang membawa laptop mahal dengan bau parfum yang berharga mahal akan tetapi tak memberi se-sen pun kepada pengemis tadi. Kalau diteruskan tak mustahil kita akan “mengelus dada” sambil mengatakan sungguh tega mereka berlalu begitu saja di hadapan pengemis yang amat menderita itu, padahal di sekujur tubuhnya melekat atribut-atribut yang melambangkan “kemewahan” mereka. Dari ilustrasi tadi, bisa dilontarkan suatu pertanyaan yang amat mendasar yaitu: mahal manakah harga manusia dengan harga rambut kita? mahal manakah harga manusia dengan harga telapak kaki kita? mahal manakah harga manusia dengan harga ketiak kita? mahal manakah harga manusia dengan “kepuasan memperindah atau mempercantik wajah kita”. Mahal manakah harga manusia dengan hewan di rumah kita seperti anjing, burung dan sebagainya.
Yayasan Tonan Asia Bunka Yuko Kyokai berusaha menghargai manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai bentuk perjuangan luhurnya. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tak terhitung banyaknya gerakan dan perjuangan luhur yang dimaksudkan untuk membebaskan penderitaan sesama manusia, apakah gerakan atau perjuangan itu tergolong besar atau kecil. Kehadiran agama-agama besar di muka bumi ini, juga tak terlepas dan nafas hendak membebaskan suatu kaum atau suatu umat. Perjuangan politik dan bersenjata suatu bangsa dalam mendapatkan kemerdekaan, tak terlepas dari motivasi menghapuskan penindasan dan eksploitasi sesama manusia, jadi untuk membebaskan penderitaan manusia juga. Revolusi untuk menumbangkan rezim yang olim seperti revolusi Prancis juga untuk terlepas dari penindasan atau eksploitasi terhadap sesama manusia. jadi dimotori oleh rasa tanggungjawab terhadap penderitaan sesama manusia juga. Juga suatu manifestasi dari niat dan perjuangan luhur untuk menolong sesama manusia. munculah panti-panti asuhan, baik untuk anak-anak terlantar maupun untuk orang-orang tua jompo, juga merupakan suatu upaya untuk membebaskan penderitaan sesama manusia. Pendek kata, begitu banyak rupa upaya dan perjuangan luhur yang tampil dalam “panggung peradaban” manusia ini di dalam rangka membebaskan penderitaan yang di alami sesama manusia. Untuk itulah Yayasan Tonan Asia Bunka Yuko Kyokai hadir sebagai cermin perjuangan luhur anak manusia. selamat ulang tahun yang ke-50.
翻訳されて、しばらくお待ちください..
