Awal Mei lalu, sebuah kabar baik berembus, khususnya bagi industri perbankan syariah. Kabar itu adalah penghapusan pengenaan pajak ganda (double tax) pada transaksi murabahah. Penghapusan tersebut merujuk pada revisi UU No 42 Tahun 2009, tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang berlaku efektif pada April 2010 lalu. Pengenaan pajak ganda sebelum UU tersebut berlaku, yang sempat masuk ke meja hijau pun, kini telah menjadi pajak yang ditanggung pemerintah.
Artinya, jika ada tunggakan pajak dari perbankan syariah yang sudah dimejahijaukan, otomatis tak akan ditagih lagi dan menjadi tanggungan pemerintah. Tentu saja, ini membuat pelaku industri perbankan syariah dapat bernapas lega.
Menilik ke belakang, pajak ganda dalam transaksi murabahah telah menjadi momok bagi industri perbankan syariah. Pasalnya, transaksi murabahah dilihat sebagai transaksi jual beli biasa. Padahal murabahah merupakan salah satu produk keuangan perbankan, di mana seharusnya produk keuangan perbankan tidak masuk sebagai objek PPn. Dalam melakukan transaksi keuangan, perbankan syariah harus selalu didukung oleh aset riil. Pada transaksi murabahah, misalnya, jika nasabah ingin membeli mobil, maka bank akan membeli mobil tersebut dan menjualnya kepada nasabah dengan margin keuntungan yang disepakati kedua belah pihak.
Saat terjadi jual beli antara bank dan penyedia mobil, lalu menjualnya kembali kepada nasabah, saat itulah PPn dikenakan, sehingga terhitung dua kali. Kendati UU PPn telah direvisi pada tahun lalu dan berlaku efektif pada April 2010, isu pajak ganda kembali mencuat saat sejumlah bank masuk sebagai daftar penunggak pajak yang dirilis oleh Direktorat Pajak pada Januari 2010. Saat daftar tersebut diungkap, salah satu penunggak pajak yang masuk daftar adalah BNI. Hal ini kemudian memicu berbagai respons dari pelaku industri perbankan syariah.
Masuknya BNI dalam daftar tersebut, karena adanya PPn dalam transaksi murabahah Unit Usaha Syariah (UUS) BNI pada 2007, senilai Rp 128,2 miliar. Rinciannya, PPn murabahah sebesar Rp108,2 miliar dan sanksi administrasi sebesar Rp20 miliar. “Pada 2007, BNI mengalami kelebihan pembayaran pajak dan setelah Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan kembali, transaksi murabahah ternyata dimasukkan transaksi yang kena pajak,” kata Direktur UKM dan Syariah BNI periode lalu, Achmad Baiquni.
Padahal, tambah dia, telah ada kesepakatan dengan para pelaku industri perbankan syariah lainnya bahwa transaksi murabahah tidak dikenakan pajak. Laba UUS BNI pada 2007 pun, saat itu tak banyak, hanya Rp19,7 miliar. Baiquni mengatakan, jika dihitung sejak UUS BNI berdiri pada 2000 hingga 2009, total pajak murabahah adalah Rp393 miliar. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Asosiasi Bank Syariah Seluruh Indonesia (Asbisindo) bersama dengan BNI pun mengajukan keberatan ke Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Keuangan.
Perjuangan mereka terus berlanjut hingga bertemu dengan anggota dewan melalui Panitia Kerja Perpajakan di DPR. Ketua Umum Asbisindo, Ahmad Riawan Amin, mengatakan, jika perbankan syariah terus-menerus dikejar mengenai pengenaan pajak ganda ini, maka tak menutup kemungkinan bank syariah bisa mengalami kerugian. Pasalnya, transaksi perbankan syariah kini 80 persen di antaranya merupakan murabahah.Kalau pajak masih terus dikejar akan memengaruhi profitabilitas bank syariah,” ujar Riawan.
Riawan menambahkan, net interest margin bank syariah pun tak berbeda jauh dengan konvensional sekitar tujuh hingga 10 persen. Jika bank syariah dikenakan PPn 10 persen, maka akan mempersulit kelangsungan hidup perbankan syariah.Menurutnya, revisi UU PPn yang telah disahkan tahun lalu, telah menjadi pembenaran perjuangan perbankan syariah bahwa pajak ganda tak menjadimasalah lagi di perbankan syariah. Riawan mengatakan, saat Bank Muamalat masih menjadi satu-satunya bank syariah, bank tersebut mendapat pembebasan dari PPn murabahah.
Dengan pembebasan pajak di Bank Muamalat, kata Riawan, setidaknya hal tersebut bisa menjadi yurisprudensi pada pengenaan pajak saat ini. “Di saat dunia kini condong ke perbankan Islam, maka perkembangan perbankan syariah tidak bisa ditahan lagi,” ujarnya. Sekretaris Umum Asbisindo, Bambang Sutrisno, menegaskan bahwa revisi UU PPn telah meneguhkan bahwa transaksi murabahah tidak dikenakan pajak. Namun sebenarnya, ujar Bambang, perbankan syariah selama ini juga tak mengenakan pajak dalam transaksi murabahah. Alasannya, karena menganggap transaksi tersebut memang bukan sebagai transaksi yang patut dikenakan pajak.
Dari sisi pelaku perbankan syariah, Direktur Utama Bank Syariah Bukopin (BSB), Riyanto, mengatakan, secara operasional perbankan syariah memang tak menerapkan pajak pada transaksi murabahah. “Namun dengan adanya revisi UU PPn juga akan berdampak positif bagi perkembangan perbankan syariah. Karena, hal itu memberi kepastian pada industri untuk mengembangkan produk murabahah dan menunjukkan bahwa produk tersebut mempunyai keunggulan,” ujar Riyanto.
Pajak ditanggung pemerintah
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Andi Rahmat, menyatakan, penerapan aturan tersebut sudah menjadi solusi atas kelemahan instrumen peraturan perundangan yang memberi celah terjadinya pajak berganda pada transaksi di perbankan syariah. “Ini sudah selesai. Tidak ada masalah dan penagihan lagi,” tegas Andi.
Andi mengatakan, kendati utang pajak bank syariah sebelum UU berlaku masuk dalam skema Ditanggung Pemerintah (DTP), revisi peraturan perundangan tetap harus dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan penafsiran lagi. “Solusi DTP diambil karena bagaimanapun pajak berganda ini tak bisa ditagih dengan adanya sengketa dalam peraturan perundangan. Kalau dipaksakan ditagih, justru akan berdampak negatif bagi perbankan syariah yang saat ini baru mulai berkembang pesat,” ujarnya.
Terkait penghapusan tunggakan pajak ganda ini, pimpinan UUS BNI, Rizqullah, menyatakan kegembiraannya. “Ini kemajuan baru dalam perbankan syariah. Sehingga, kami bisa berkonsentrasi ke pengembangan bisnis dan tidak perlu direpotkan pada hal-hal yang tidak perlu,” ujar Rizqullah.
Dengan kepastian hukum dan penghapusan tunggakan pajak ganda tersebut, setidaknya hal ini menjadi pendorong bagi industri perbankan syariah untuk dapat melakukan ekspansi lebih luas lagi. Di sisi lain, diharapkan investor pun akan berdatangan untuk meramaikan industri perbankan syariah Indonesia. (ed:andina)
結果 (
日本語) 1:
[コピー]コピーしました!
Awal Mei lalu, sebuah kabar baik berembus, khususnya bagi industri perbankan syariah. Kabar itu adalah penghapusan pengenaan pajak ganda (double tax) pada transaksi murabahah. Penghapusan tersebut merujuk pada revisi UU No 42 Tahun 2009, tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang berlaku efektif pada April 2010 lalu. Pengenaan pajak ganda sebelum UU tersebut berlaku, yang sempat masuk ke meja hijau pun, kini telah menjadi pajak yang ditanggung pemerintah.
Artinya, jika ada tunggakan pajak dari perbankan syariah yang sudah dimejahijaukan, otomatis tak akan ditagih lagi dan menjadi tanggungan pemerintah. Tentu saja, ini membuat pelaku industri perbankan syariah dapat bernapas lega.
Menilik ke belakang, pajak ganda dalam transaksi murabahah telah menjadi momok bagi industri perbankan syariah. Pasalnya, transaksi murabahah dilihat sebagai transaksi jual beli biasa. Padahal murabahah merupakan salah satu produk keuangan perbankan, di mana seharusnya produk keuangan perbankan tidak masuk sebagai objek PPn. Dalam melakukan transaksi keuangan, perbankan syariah harus selalu didukung oleh aset riil. Pada transaksi murabahah, misalnya, jika nasabah ingin membeli mobil, maka bank akan membeli mobil tersebut dan menjualnya kepada nasabah dengan margin keuntungan yang disepakati kedua belah pihak.
Saat terjadi jual beli antara bank dan penyedia mobil, lalu menjualnya kembali kepada nasabah, saat itulah PPn dikenakan, sehingga terhitung dua kali. Kendati UU PPn telah direvisi pada tahun lalu dan berlaku efektif pada April 2010, isu pajak ganda kembali mencuat saat sejumlah bank masuk sebagai daftar penunggak pajak yang dirilis oleh Direktorat Pajak pada Januari 2010. Saat daftar tersebut diungkap, salah satu penunggak pajak yang masuk daftar adalah BNI. Hal ini kemudian memicu berbagai respons dari pelaku industri perbankan syariah.
Masuknya BNI dalam daftar tersebut, karena adanya PPn dalam transaksi murabahah Unit Usaha Syariah (UUS) BNI pada 2007, senilai Rp 128,2 miliar. Rinciannya, PPn murabahah sebesar Rp108,2 miliar dan sanksi administrasi sebesar Rp20 miliar. “Pada 2007, BNI mengalami kelebihan pembayaran pajak dan setelah Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan kembali, transaksi murabahah ternyata dimasukkan transaksi yang kena pajak,” kata Direktur UKM dan Syariah BNI periode lalu, Achmad Baiquni.
Padahal, tambah dia, telah ada kesepakatan dengan para pelaku industri perbankan syariah lainnya bahwa transaksi murabahah tidak dikenakan pajak. Laba UUS BNI pada 2007 pun, saat itu tak banyak, hanya Rp19,7 miliar. Baiquni mengatakan, jika dihitung sejak UUS BNI berdiri pada 2000 hingga 2009, total pajak murabahah adalah Rp393 miliar. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Asosiasi Bank Syariah Seluruh Indonesia (Asbisindo) bersama dengan BNI pun mengajukan keberatan ke Kementerian Negara BUMN dan Kementerian Keuangan.
Perjuangan mereka terus berlanjut hingga bertemu dengan anggota dewan melalui Panitia Kerja Perpajakan di DPR. Ketua Umum Asbisindo, Ahmad Riawan Amin, mengatakan, jika perbankan syariah terus-menerus dikejar mengenai pengenaan pajak ganda ini, maka tak menutup kemungkinan bank syariah bisa mengalami kerugian. Pasalnya, transaksi perbankan syariah kini 80 persen di antaranya merupakan murabahah.Kalau pajak masih terus dikejar akan memengaruhi profitabilitas bank syariah,” ujar Riawan.
Riawan menambahkan, net interest margin bank syariah pun tak berbeda jauh dengan konvensional sekitar tujuh hingga 10 persen. Jika bank syariah dikenakan PPn 10 persen, maka akan mempersulit kelangsungan hidup perbankan syariah.Menurutnya, revisi UU PPn yang telah disahkan tahun lalu, telah menjadi pembenaran perjuangan perbankan syariah bahwa pajak ganda tak menjadimasalah lagi di perbankan syariah. Riawan mengatakan, saat Bank Muamalat masih menjadi satu-satunya bank syariah, bank tersebut mendapat pembebasan dari PPn murabahah.
Dengan pembebasan pajak di Bank Muamalat, kata Riawan, setidaknya hal tersebut bisa menjadi yurisprudensi pada pengenaan pajak saat ini. “Di saat dunia kini condong ke perbankan Islam, maka perkembangan perbankan syariah tidak bisa ditahan lagi,” ujarnya. Sekretaris Umum Asbisindo, Bambang Sutrisno, menegaskan bahwa revisi UU PPn telah meneguhkan bahwa transaksi murabahah tidak dikenakan pajak. Namun sebenarnya, ujar Bambang, perbankan syariah selama ini juga tak mengenakan pajak dalam transaksi murabahah. Alasannya, karena menganggap transaksi tersebut memang bukan sebagai transaksi yang patut dikenakan pajak.
Dari sisi pelaku perbankan syariah, Direktur Utama Bank Syariah Bukopin (BSB), Riyanto, mengatakan, secara operasional perbankan syariah memang tak menerapkan pajak pada transaksi murabahah. “Namun dengan adanya revisi UU PPn juga akan berdampak positif bagi perkembangan perbankan syariah. Karena, hal itu memberi kepastian pada industri untuk mengembangkan produk murabahah dan menunjukkan bahwa produk tersebut mempunyai keunggulan,” ujar Riyanto.
Pajak ditanggung pemerintah
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Andi Rahmat, menyatakan, penerapan aturan tersebut sudah menjadi solusi atas kelemahan instrumen peraturan perundangan yang memberi celah terjadinya pajak berganda pada transaksi di perbankan syariah. “Ini sudah selesai. Tidak ada masalah dan penagihan lagi,” tegas Andi.
Andi mengatakan, kendati utang pajak bank syariah sebelum UU berlaku masuk dalam skema Ditanggung Pemerintah (DTP), revisi peraturan perundangan tetap harus dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan penafsiran lagi. “Solusi DTP diambil karena bagaimanapun pajak berganda ini tak bisa ditagih dengan adanya sengketa dalam peraturan perundangan. Kalau dipaksakan ditagih, justru akan berdampak negatif bagi perbankan syariah yang saat ini baru mulai berkembang pesat,” ujarnya.
Terkait penghapusan tunggakan pajak ganda ini, pimpinan UUS BNI, Rizqullah, menyatakan kegembiraannya. “Ini kemajuan baru dalam perbankan syariah. Sehingga, kami bisa berkonsentrasi ke pengembangan bisnis dan tidak perlu direpotkan pada hal-hal yang tidak perlu,” ujar Rizqullah.
Dengan kepastian hukum dan penghapusan tunggakan pajak ganda tersebut, setidaknya hal ini menjadi pendorong bagi industri perbankan syariah untuk dapat melakukan ekspansi lebih luas lagi. Di sisi lain, diharapkan investor pun akan berdatangan untuk meramaikan industri perbankan syariah Indonesia. (ed:andina)
翻訳されて、しばらくお待ちください..
