Kawat Ke Beograd.
Kami sampai di Jakarta pada 25 Jun i 1975 dan berusaha menghadap Presiden Soeharto, da n menemui Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro. Namun tidak berhasil. Karena , kedua, beliau ini besoknya, 26 Juni 1975, mengadakan kunjungan kenegaraan ke Iran, Yugoslavia, Kanada dan Amerika Serikat - kemudian tenis ke Jepang. Saya hanya sempat melapor melalui telepon kepada Menteri Widjojo Nitisastro.
Dalam pada itu Omi-san di Jepang, menurut berita, berusaha terus mencari bahan. guna. meyakinkan Pemerintah Jepang. Sangat mengejutkan, bahwa pada suatu hari, datang berita dari Gaimusho, yang memberikan kesan seakan-akan Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menyelenggarakan penanda-tanganan kontrak pada hari-hari Presiden Soeharto berada di Tokyo -bahkan dikatakan lebih condong memilih tanggal 17 Agustus berikutnya. Berita ini, syukur segera dapat ditiadakan dengan sebuah Nota Diplomatik dari KBRI Tokyo atas persetujuan Departemen Luamegeri di Jakarta.
Menjelang akhir Juni, M ITI mengirimkan pesan melalui KBRI Tokyo, a gar kami segera kembali ke Tokyo. Sampai di Tokyo pada hari Minggu 29 Juni tengah malam. Besok harinya pada jam 11.00 kami diterima Direktur Jenderal Hashimoto yang didampingi para Direktur, Omi dan Toyoshima.
Dari penjelasan Hashimoto-san jelas terkesan, bahwa MITI tidak berhasil. mendapatkan konsensus terhadap usul yang telah diajukan kepada Pemerintah Indonesia. Dikalangan Pemerintah Jepang sendiri, khususnya dari pihak Menteri Keuangan Ohira, ditandaskan, . bahwa bantuan kepada Indonesia sudah cukup menonjol.
MITI kemudian mengubah siasatnya ke usaha untuk membuktikan, bahwa proyek ini amat penting bagi Pemerintah Indonesia. Sebagai bukti akan diperlihatkan, bahwa Pemerintah Indonesia bersedia ikut mengambil bagian dengan tanggungan yang lebih besar lagi.
Ada pun usul baru MITI yang diajukan Direktur Jenderal Hashimoto meliputi hal-hal seperti berikut:
a. Pemerintah Jepang mengusulkan agar Pemerintah Indonesia dapat menerima baik sebagai prinsip untuk berpartisipasi sebesar 25%, berupa modal saham, maupun dalam bentuk modal pinjaman. Ini berarti Pemerintah Indonesia harus memberikan pinjaman pula dari sumber dana sendiri.
b. Pemerintah Jepang menyadari, bahwa keadaan keuangan di Indonesia memang belum begitu baik, namun sebaliknya keadaan di Jepang pun sedang sangat buruk. Pemerintah Jepang bermaksud memberikan 15% dari 25% modal pinjaman yang akan menjadi tanggung Pemerintah Indonesia sebagai pinjaman OECF kepada Pemerintah Indonesia, untuk diteruskan ke perusahaan di Indonesia.
Namun 10% dari 25% tadi, harus ditanggung oleh Pemerintah. Indonesia sendiri, yakini AS $60 juta dengan syarat yang sama seperti OECF.
c. Syarat pinjaman OECF akan sangat lunak. Yakni pembayaran kembali dalam 30 tahun, termasuk 8 tahun waktu tenggang dan bunga 3% . Pemerintah Indonesia diminta meneruskan pinjaman ini dengan syarat yang sama ke perusahaan patungan.
d. Modal saham pihak Indonesia pada permulaan tetap 10%, sehingga pada tahap permulaan pihak Jepang akan mengambil 90%. Namun dari 90% modal saham ini, OECF akan mengambil setengah atas nama OECF, sampai para investor mampu membelinya kembali.
e. Pabrik pelebur tetap akan dijadikan jaminan bagi pinjaman.
Pemerintah Jepang memang sudah melangkah jauh bila dibandingkan dengan kelaziman sebelumnya. Namun bagi Pemerintah Indonesia memberikan pinjaman ke suatu proyek yang pada hakekatnya adalah penanaman modal asing, meskipun dengan syarat OECF yang demikian lunak, merupakan hal baru yang sangat mendasar dilihat dari segi kebijaksanaan moneter Indonesia. Pemerintah Jepang meminta jawaban selekas mungkin terhadap usul baru MITI tersebut.
Kami sendiri melihat makna yang masih cukup menarik dalam usul ini demi terlaksananya sebuah proyek besar, yang benar-benar mulai memanfaatkan kekayaan alam nasional dengan cara yang cukup berarti. Oleh karena itu kami bersedia menerima usul tersebut, satu dan lain tergantung pada persetujuan Pemerintah RI asalkan benar-benar merupakan usul yang final.
Dari sikap yang kooperatif dari pihak pejabat-pejabat MITI, jelas tampak niat baik dan hasrat yang masih kuat paling sedikit di pihak MITI. Sikap yang agak keras dari Kementerian Keuangan Jepang sebenarnya dapat difahami, karena baru saja Pemerintah Jepang menyetujui bantuan kepada Indonesia - baik di dalam rangka IGGI, pun dalam rangka usaha mengatasi musibah finansial pada Pertamina.
Di pihak Indonesia, khususnya Bappenas, semula sebenarnya ada masalah pula, yang berkisar pada pertanyaan: apakah pinjaman OECF ini akan dimasukkan dalam rangka program bantuan IGGI kepada Indonesia, ataukah di luar itu.
Masalah ini teratasi dengan kesepakatan, bahwa bantuan OECF secara resmi akan di-declare sebagai bantuan dalam rangka program bantuan Pemerintah Jepang ke Pemerintah Indonesia namun tidak akan mempengaruhi "standing commitments " yang sudah ada.
Sambil menyampaikan usul final ini, pejabat-pejabat MITI tampaknya hendak meyakinkan kami juga dengan pandangan, bahwa Indonesia sebenarnya tidak perlu terlalu cemas terhadap syarat-syarat baru ini. Sebab dalam waktu singkat Indonesia akan mulai mengekspor LNG yang akan memberikan pendapatan baru sebesar AS $1 milyar tiap tahun. Pemerintah Jepang akan mendahulukan pinjaman OECF sebesar 15%, sehingga kewajiban Indonesia dapat dipenuhi baru sesudah itu. Masih terang dalam ingatan saya ucapan penutup mereka "…... when has Japan ever let down Indonesia, when it is in trouble......” suatu ucapan yang sedikit banyak menunjuk ke arah syncicated loan yang baru diberikan kepada Bank Indonesia sebesar AS $750 juta sebagai langkah segera untuk mengatasi masalah. Pertamina.
Biarpun usul tersebut cukup menarik, . masalahnya cukup mendasar, sehingga perlu diajukan lebih dahulu kepada Pemerintah RI sebelum diputuskan.
Problem praktis adalah, bahwa baik Presiden Soeharto, maupun Menteri Widjojo Nitisastro dan Menteri Sudharmono yang berwenang dalam tahap terakhir memberikan persetujuan, pada waktu itu semua berada di Beograd.
Setelah berembug dengan Duta Besar Indonesia di Jepang, Yusuf Ramli, di putuskan, saya akan mengirimkan kawat kepada kedua menteri tersebut di Beograd dengan disertai kawat dari Duta Besar Yusuf Ramli langsung ke Presiden Soeharto guna melaporkan perkembangan terakhir dan memintakan keputusan.
Waktu telah menunjukkan jam 15:00, 1 Juli 1975. Sedangkan rombongan Presiden akan meninggalkan Beograd 2 Juli esok harinya --- suatu peluang waktu kurang dari 24 jam.
Kami berusaha juga mencari hubungan telepon ke Beograd. Bahkan mencoba mencari hotel yang mungkin didiami para menteri --- namun tidak berhasil. Ternyata seluruh rombongan berada di sebuah pulau di laut Adriatic dan tidak dapat dihubungi melalui telepon international.
Kawat Ke Beograd.
Kami sampai di Jakarta pada 25 Jun i 1975 dan berusaha menghadap Presiden Soeharto, da n menemui Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro. Namun tidak berhasil. Karena , kedua, beliau ini besoknya, 26 Juni 1975, mengadakan kunjungan kenegaraan ke Iran, Yugoslavia, Kanada dan Amerika Serikat - kemudian tenis ke Jepang. Saya hanya sempat melapor melalui telepon kepada Menteri Widjojo Nitisastro.
Dalam pada itu Omi-san di Jepang, menurut berita, berusaha terus mencari bahan. guna. meyakinkan Pemerintah Jepang. Sangat mengejutkan, bahwa pada suatu hari, datang berita dari Gaimusho, yang memberikan kesan seakan-akan Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menyelenggarakan penanda-tanganan kontrak pada hari-hari Presiden Soeharto berada di Tokyo -bahkan dikatakan lebih condong memilih tanggal 17 Agustus berikutnya. Berita ini, syukur segera dapat ditiadakan dengan sebuah Nota Diplomatik dari KBRI Tokyo atas persetujuan Departemen Luamegeri di Jakarta.
Menjelang akhir Juni, M ITI mengirimkan pesan melalui KBRI Tokyo, a gar kami segera kembali ke Tokyo. Sampai di Tokyo pada hari Minggu 29 Juni tengah malam. Besok harinya pada jam 11.00 kami diterima Direktur Jenderal Hashimoto yang didampingi para Direktur, Omi dan Toyoshima.
Dari penjelasan Hashimoto-san jelas terkesan, bahwa MITI tidak berhasil. mendapatkan konsensus terhadap usul yang telah diajukan kepada Pemerintah Indonesia. Dikalangan Pemerintah Jepang sendiri, khususnya dari pihak Menteri Keuangan Ohira, ditandaskan, . bahwa bantuan kepada Indonesia sudah cukup menonjol.
MITI kemudian mengubah siasatnya ke usaha untuk membuktikan, bahwa proyek ini amat penting bagi Pemerintah Indonesia. Sebagai bukti akan diperlihatkan, bahwa Pemerintah Indonesia bersedia ikut mengambil bagian dengan tanggungan yang lebih besar lagi.
Ada pun usul baru MITI yang diajukan Direktur Jenderal Hashimoto meliputi hal-hal seperti berikut:
a. Pemerintah Jepang mengusulkan agar Pemerintah Indonesia dapat menerima baik sebagai prinsip untuk berpartisipasi sebesar 25%, berupa modal saham, maupun dalam bentuk modal pinjaman. Ini berarti Pemerintah Indonesia harus memberikan pinjaman pula dari sumber dana sendiri.
b. Pemerintah Jepang menyadari, bahwa keadaan keuangan di Indonesia memang belum begitu baik, namun sebaliknya keadaan di Jepang pun sedang sangat buruk. Pemerintah Jepang bermaksud memberikan 15% dari 25% modal pinjaman yang akan menjadi tanggung Pemerintah Indonesia sebagai pinjaman OECF kepada Pemerintah Indonesia, untuk diteruskan ke perusahaan di Indonesia.
Namun 10% dari 25% tadi, harus ditanggung oleh Pemerintah. Indonesia sendiri, yakini AS $60 juta dengan syarat yang sama seperti OECF.
c. Syarat pinjaman OECF akan sangat lunak. Yakni pembayaran kembali dalam 30 tahun, termasuk 8 tahun waktu tenggang dan bunga 3% . Pemerintah Indonesia diminta meneruskan pinjaman ini dengan syarat yang sama ke perusahaan patungan.
d. Modal saham pihak Indonesia pada permulaan tetap 10%, sehingga pada tahap permulaan pihak Jepang akan mengambil 90%. Namun dari 90% modal saham ini, OECF akan mengambil setengah atas nama OECF, sampai para investor mampu membelinya kembali.
e. Pabrik pelebur tetap akan dijadikan jaminan bagi pinjaman.
Pemerintah Jepang memang sudah melangkah jauh bila dibandingkan dengan kelaziman sebelumnya. Namun bagi Pemerintah Indonesia memberikan pinjaman ke suatu proyek yang pada hakekatnya adalah penanaman modal asing, meskipun dengan syarat OECF yang demikian lunak, merupakan hal baru yang sangat mendasar dilihat dari segi kebijaksanaan moneter Indonesia. Pemerintah Jepang meminta jawaban selekas mungkin terhadap usul baru MITI tersebut.
Kami sendiri melihat makna yang masih cukup menarik dalam usul ini demi terlaksananya sebuah proyek besar, yang benar-benar mulai memanfaatkan kekayaan alam nasional dengan cara yang cukup berarti. Oleh karena itu kami bersedia menerima usul tersebut, satu dan lain tergantung pada persetujuan Pemerintah RI asalkan benar-benar merupakan usul yang final.
Dari sikap yang kooperatif dari pihak pejabat-pejabat MITI, jelas tampak niat baik dan hasrat yang masih kuat paling sedikit di pihak MITI. Sikap yang agak keras dari Kementerian Keuangan Jepang sebenarnya dapat difahami, karena baru saja Pemerintah Jepang menyetujui bantuan kepada Indonesia - baik di dalam rangka IGGI, pun dalam rangka usaha mengatasi musibah finansial pada Pertamina.
Di pihak Indonesia, khususnya Bappenas, semula sebenarnya ada masalah pula, yang berkisar pada pertanyaan: apakah pinjaman OECF ini akan dimasukkan dalam rangka program bantuan IGGI kepada Indonesia, ataukah di luar itu.
Masalah ini teratasi dengan kesepakatan, bahwa bantuan OECF secara resmi akan di-declare sebagai bantuan dalam rangka program bantuan Pemerintah Jepang ke Pemerintah Indonesia namun tidak akan mempengaruhi "standing commitments " yang sudah ada.
Sambil menyampaikan usul final ini, pejabat-pejabat MITI tampaknya hendak meyakinkan kami juga dengan pandangan, bahwa Indonesia sebenarnya tidak perlu terlalu cemas terhadap syarat-syarat baru ini. Sebab dalam waktu singkat Indonesia akan mulai mengekspor LNG yang akan memberikan pendapatan baru sebesar AS $1 milyar tiap tahun. Pemerintah Jepang akan mendahulukan pinjaman OECF sebesar 15%, sehingga kewajiban Indonesia dapat dipenuhi baru sesudah itu. Masih terang dalam ingatan saya ucapan penutup mereka "…... when has Japan ever let down Indonesia, when it is in trouble......” suatu ucapan yang sedikit banyak menunjuk ke arah syncicated loan yang baru diberikan kepada Bank Indonesia sebesar AS $750 juta sebagai langkah segera untuk mengatasi masalah. Pertamina.
Biarpun usul tersebut cukup menarik, . masalahnya cukup mendasar, sehingga perlu diajukan lebih dahulu kepada Pemerintah RI sebelum diputuskan.
Problem praktis adalah, bahwa baik Presiden Soeharto, maupun Menteri Widjojo Nitisastro dan Menteri Sudharmono yang berwenang dalam tahap terakhir memberikan persetujuan, pada waktu itu semua berada di Beograd.
Setelah berembug dengan Duta Besar Indonesia di Jepang, Yusuf Ramli, di putuskan, saya akan mengirimkan kawat kepada kedua menteri tersebut di Beograd dengan disertai kawat dari Duta Besar Yusuf Ramli langsung ke Presiden Soeharto guna melaporkan perkembangan terakhir dan memintakan keputusan.
Waktu telah menunjukkan jam 15:00, 1 Juli 1975. Sedangkan rombongan Presiden akan meninggalkan Beograd 2 Juli esok harinya --- suatu peluang waktu kurang dari 24 jam.
Kami berusaha juga mencari hubungan telepon ke Beograd. Bahkan mencoba mencari hotel yang mungkin didiami para menteri --- namun tidak berhasil. Ternyata seluruh rombongan berada di sebuah pulau di laut Adriatic dan tidak dapat dihubungi melalui telepon international.
翻訳されて、しばらくお待ちください..
