Sebagai negara bertetangga, Indonesia dan Malaysia memiliki kemiripan. Keduanya berpenduduk mayoritas ras Melayu. Bahasa Indonesia asalnya dari bahasa Melayu yang menjadi bahasa percakapan saban hari di negara jiran itu.
Meski begitu, hubungan kedua negara mudah tersulut oleh berbagai masalah. Mulai dari penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia, klaim budaya, hingga sengketa perbatasan.
Negara jiran itu hari ini berulang tahun ke-55. Sejauh ini, menurut Adi Sasono, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia pada era Presiden B.J. Habibie, hubungan kedua negara stabil namun berjarak.
Saat Presiden Habibie menjabat, dia dan Pak Anwar sangat dekat hubungannya. Masalah tenaga kerja Indonesia bisa diselesaikan lewat telepon. Bahasa dan kekayaan sastra kedua negara mestinya menguntungkan kedua negara. Dalam hal ekonomi, bisa saling mengisi.
Malaysia mempunyai kepentingan dengan keterbatasan lahan, kemudian mereka berekspansi ke Indonesia. Indonesia juga punya kepentingan perdagangan. Menurutnya, Indonesia bisa menjadikan Kuala Lumpur tempat transit perdagangan sebelum ke Timur Tengah dan negara-negara lainnya. Sekuritas keuangan dan perdagangan kita lebih baik sehingga kita tidak tergantung pada Singapura. Itu bisa di pelabuhan Malaysia dengan jaringan internasionalnya.
Stabil tetapi berjarak. Emosi kedua negara tidak menyatu sebagai bangsa serumpun. Hal itu sampai pada tingkatan rakyat. Mestinya pemimpin punya fungsi keteladanan. Demikian juga hal peniruan budaya Indonesia oleh Malaysia. Dia menganggap tidak apa-apa ditiru, karena banyak orang Indonesia berada di Malaysia. Yang tidak boleh adalah Malaysia mengklaim.
Kalau meniru, boleh saja. Di Malaysia ada orang Ponorogo tentu akan membuat Reog seperti di kampung halamannya. Yang membuat batik juga orang Indonesia di sana, bahkan dikelola lebih baik daripada di Indonesia. Kalau klaim itu tidak pantas, minimal milik bersama.
Sebenarnya kesenian, kerajinan yang dibawa orang Indonesia di Malaysia, itu baik-baik saja. Artinya melibatkan budaya nasional, bahkan hal itu kian berkembang di negeri seberang. Kenapa itu dijadikan persoalan besar, karena ada klaim sepihak.
Itu kemudian melukai hati masing-masing bangsa. Indonesia tidak bahagia, Malaysia juga terluka, dan itu agak kekanak-kanakan. Adi Sasono pun mencoba melihat visi ke depan, supaya rumpun melayu ini eksis dalam persaingan global. Kenapa yang berjaya rumpun Yahudi, China, India, rumpun Eropa kulit putih. Rumpun Melayu ini kalau ditambah dengan yang ada di Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, jumlahnya bisa 300 juta jiwa dan itu lebih banyak dari rumpun Arab.
Kenapa tidak jadikan identitas Melayu itu jadi rumpun penting untuk didukung. Demikian juga dalam hal bahasa-bahasa internasional, Prancis, Arab, Spanyol, Jerman, dan Inggris lebih dominan dan bahasa Melayu hampir tidak masuk. Padahal jumlah penuturnya jauh lebih banyak dari bahasa Spanyol atau Prancis.
Padahal dengan bahasa Melayu ini digunakan di Indonesia, bahasa-bahasa lokal seperti menyerahkan bahasanya dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan dengan semangat kebersamaan. Kenapa hal ini tidak dilakukan.
Bersekutu dengan negara tetangga untuk melahirkan keindahan bahasa tutur, bersastra, dan lainnya. Bertutur dengan bahasa ibu sama, keindahan itu juga bisa dalam bentuk tari-tarian dimiliki masing-masing negara.