Sayangnya WALHI melihat bahwa restrukturisasi yang dijalankan dalam kurun waktu 100 hari ini belum keluar dari “jebakan” akar masalah yang sama, karena dalam Kementerian ini tetap ada Dirjen Planologi yang seharusnya dikeluarkan dan masuk pada Kementerian yang lain yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Konsolidasi yang diharapkan bisa memperkuat fungsi dan kewenangan Institusi Lingkungan Hidup ini juga jauh dari harapan, ini bisa dilihat dari pendelegasian kewenangan ijin lingkungan kepada BKPM, bahkan dengan durasi perijinan lingkungan yang dipersingkat dari 75 hari menjadi 30 hari. Meskipun disampaikan bahwa itu terkait dengan hal administrasi, namun faktanya di lapangan, administrasi formil yang justru mengalahkan esensi lingkungan hidup itu sendiri yakni asas kehati-hatian dini.
Basis argumentasi dari Presiden bahwa lingkungan hidup akan “memimpin” pada isu lain dan sektor SDA, faktanya belum bisa menunjukkan hal tersebut dalam 100 hari ini. Indikatornya sederhana, sebagai Institusi yang memiliki mandat UU 32/2009 untuk perlindungan dan pengelolaan LH, seluruh program yang disebutkan sebagai dukungan terhadap pengembangan infrastruktur, semua berisi perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Tidak ada menyentuh sedikitpun bagaimana memastikan seluruh proyek pembangunan infrstruktur mensyaratkan KLHS, sehingga ada upaya kuat dari Kementerian ini untuk merancang PP KLHS, bahkan sebagai quick win yang harusnya menjadi program prioritas selama 100 hari ini.
Penerbitan izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dikategorikan mendukung kedaulatan pangan, kedaulatan energi, bukan hanya bertentangan dengan filosofi penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahkan mempertahankan sumber masalah di kementerian kehutanan selama ini, dimana cara pandang defenisi hutan adalah kawasan yang sering masuk ke persoalan tenurial. Ini dapat dilihat dalam programnya dengan menyediakan: (1) HPK dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 1 juta hektar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Inhutani, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah, (2) Penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) terhadap Tambang, (3) Penerbitan Permen LHK tentang Kebijakan Pembangunan HTI untuk kedaulatan pangan dan energi yang justru menghilangkan akses dan wilayah kelola rakyat yang berakibat pada hilangnya kedaulatan pangan masayrakat lokal untuk penyediaan daging sapi di NTT, melalui Izin Usaha Pemanfaatan Silvopastura.
Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa “dalam 100 hari ini, upaya penyelamatan lingkungan hidup pemerintahan Jokowi-JK, masih berkutat pada pernyataan politik, belum diturunkan pada produk kebijakan hukum yang mampu menjangkau problem struktural lingkungan hidup dan sumber daya alam”. Pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dimandatkan khusus memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana mandat UU 32/2009 juga masih berkutat pada rekonsilidasi institusi internal dan belum menunjukkan upaya strategis dan sistematis dalam penghentian kerusakan lingkungan hidup dan pemulihannya”, tegas Abetnego.
Secara positif, terobosan oleh Kementerian LH dan Kehutanan ini coba dilakukan untuk menegakkan hukum lingkungan namun juga masih belum menunjukkan penyelesaian akar masalahnya. Ini dapat dilihat dari penanganan kasus kasus penyelesaian konflik masyarakat Sungai Tohor (Tebing Tinggi) seharusnya posisi KLHK bukan mediator, tetapi melakukan revisi atau pencabutan izin terhadap perusahaan pembakar hutan-lahan.
Penghentian kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh Kementerian ini lebih pada hal-hal teknis misalnya dengan membasahi kawasan gambut dengan blocking kanal, semistinya bisa lebih prograsive dengan mendorong review perizinan untuk memulihkan keseimbangan ekologi hutan. Walaupun proses hukum dan koordinasi antar penegak hukum mulai di dorong, dikhawatirkan proses penghentian laju pernerbitan izin tidak signifikan dengan proses review izin, terlebih kini proses izin lingkungan dipersingkat menjadi 30 hari. Sementara kebutuhan mendasar yang harus dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah mendorong lahirnya system dan mekansime review perizinan. Sehingga pemulihan fungsi hutan lingkungan menjadi gerakan yang menyeluruh ke daerah.
Tim Penanganan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dibentuk oleh KLHK melalui SK Menteri LHK Nomer SK.24/Menhut-II/2015 sebagai upaya bagi institusi ini untuk menyelesaikan kasus-kasus lingkungan hidup yang melibatkan organisasi masyarakat sipil kami nilai sebagai terobosan yang dilakukan oleh LHK untuk menangani pengaduan kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan. Sebagai sebuah terobosan di tengah begitu banyaknya kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan, tentu kami tidak berharap Tim ini mengadopsi pendekatan “konvensional” dan reguler pengaduan masyarakat yang sudah ada di Kementerian sebelumnya dan juga tidak bersifat legal formal semata. Belajar dari masa lalu, bahwa masyarakat selalu kalah menghadapi korporasi penjahat lingkungan, karena Pemerintah selalu menggunakan pendekatan legal formal yang sulit bisa dipenuhi oleh masyarakat. Misalnya soal pembuktian limbah yang harus ilmiah, sementara masyarakat tidak bisa mengakses teknologi untuk bisa menjadi alat bukti yang diakui oleh negara.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden sendiri bahwa konsolidasi paska Pilpres belum bisa berjalan cepat, dan upaya pelemahan KPK sebagai institusi yang diharapkan bisa kuat untuk memangkas kejahatan korupsi di sektor sumber daya alam, pernyataan politik Jokowi untuk menjalankan janjinya dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pengelolaan kekayaan alam yang berkadilan, harus diletakkan sejak awal untuk meletakkan pondasi pada penyelesaian problem struktural lingkungan hidup dan SDA. Sebagai sebuah pondasi, harusnya di awal tahun pemerintahannya sudah menjadi prioritas yang harus segera dilakukan.
Pandangan WALHI atas Laporan Pelaksanaan 100 hari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan