Dia, perempuan itu sempat membuatku memilih untuk tak memejamkan mata selama 24 jam. dimulai dari pencarian jejaknya, menemukannya, berbasa-basi, mendengarkan kisahnya, merenung tentang bagaimana aku membahasakan rasaku ketika berjam-jam mengikuti alur ceritanya. ya, tapi aku harus membahasakannya. ini tentang Hj Masriyah Amva, perempuan itu, penyair itu, dan Nyai Itu.
ketika itu, laiknya rasa yang meletup-letup dalam setiap puisi cinta yang ditulisnya, Yu Mas, demikian sapaan akrabnya, tetap mengalir ketika berkisah. ya, diam dan hanya mendengarnya berkisah tentang cinta yang tak mampu dibendungnya, tanpa sadar membuatku terbawa dalam sebuah perjalanan yang melelahkan. cinta itu tidak pernah dicarinya, tapi datang menghampirinya, bahkan tidak jarang muncul secara tiba-tiba bagai petir. belum lagi dia harus menghadapi cibiran yang datang bertubi. keluarga mencela cintanya sebagai sesuatu yang tabu. teman-teman pun menganggap dorongan alamiah seorang manusia itu sebagai aib. apalagi cinta itu datang dalam statusnya sebagai seorang istri, seorang ibu, seorang perempuan dengan usia lewat empat dekade, dan sebagai Nyai Pondok Pesantren.
dimana sosok Nyai dinilai tak pantas berbicara cinta apalagi berahi. Nyai bagaikan permaisuri raja, sosok suci pengabdi yang tak berhasrat diri. saat itu hanya suaminya, KH. Muhammad, sosok yang masih mau menyapanya dan memahami apa yang tengah terjadi padanya. KH. Muhammad adalah pendiri Pesantren Pondok Jambu di Babakan Ciwaringin, Cirebon. Pesantren inilah yang kini tengah dipimpin Yu Mas. Namun Yu Mas kembali menjadi sendiri. Karena tidak lama kemudian, sosok yang selalu melindunginya menghadap ke haribaan-Nya. Di tengah kondisi yang serba rentan, hasrat itu tetap tak mau beranjak. Bahkan tak jarang dia didera depresi. Namun siapa sangka dia bisa bertahan. Dia juga tidak sampai hanyut dan menjadi tiada, meski dipaksa terbuai pada rasa yang tak bisa dikendalikannya.
tapi dia yakin, bahwa sang pemberi cinta menginginkannya untuk lebih dekat mengenal-Nya. akalnya masih diberi kesempatan untuk memilih, meskipun peluangnya sangat sedikit. dari situlah saya mencoba menuliskan kenyataan itu, dengan menulis dan menulis. baginya, menyalahkan seseorang bukanlah hal bijak, apalagi menilai pengalamannya sebagai pengalaman buruk. tidak. karena dari perjalanan itulah dia mengaku menjadi semakin dekat denganNya. hingga akhirnya dia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. kepergiannya saat itu hanya untuk memohon kesembuhan dan petunjuk atas sekian rasa yang menderanya.
Dia, perempuan itu sempat membuatku memilih untuk tak memejamkan mata selama 24 jam. dimulai dari pencarian jejaknya, menemukannya, berbasa-basi, mendengarkan kisahnya, merenung tentang bagaimana aku membahasakan rasaku ketika berjam-jam mengikuti alur ceritanya. ya, tapi aku harus membahasakannya. ini tentang Hj Masriyah Amva, perempuan itu, penyair itu, dan Nyai Itu.
ketika itu, laiknya rasa yang meletup-letup dalam setiap puisi cinta yang ditulisnya, Yu Mas, demikian sapaan akrabnya, tetap mengalir ketika berkisah. ya, diam dan hanya mendengarnya berkisah tentang cinta yang tak mampu dibendungnya, tanpa sadar membuatku terbawa dalam sebuah perjalanan yang melelahkan. cinta itu tidak pernah dicarinya, tapi datang menghampirinya, bahkan tidak jarang muncul secara tiba-tiba bagai petir. belum lagi dia harus menghadapi cibiran yang datang bertubi. keluarga mencela cintanya sebagai sesuatu yang tabu. teman-teman pun menganggap dorongan alamiah seorang manusia itu sebagai aib. apalagi cinta itu datang dalam statusnya sebagai seorang istri, seorang ibu, seorang perempuan dengan usia lewat empat dekade, dan sebagai Nyai Pondok Pesantren.
dimana sosok Nyai dinilai tak pantas berbicara cinta apalagi berahi. Nyai bagaikan permaisuri raja, sosok suci pengabdi yang tak berhasrat diri. saat itu hanya suaminya, KH. Muhammad, sosok yang masih mau menyapanya dan memahami apa yang tengah terjadi padanya. KH. Muhammad adalah pendiri Pesantren Pondok Jambu di Babakan Ciwaringin, Cirebon. Pesantren inilah yang kini tengah dipimpin Yu Mas. Namun Yu Mas kembali menjadi sendiri. Karena tidak lama kemudian, sosok yang selalu melindunginya menghadap ke haribaan-Nya. Di tengah kondisi yang serba rentan, hasrat itu tetap tak mau beranjak. Bahkan tak jarang dia didera depresi. Namun siapa sangka dia bisa bertahan. Dia juga tidak sampai hanyut dan menjadi tiada, meski dipaksa terbuai pada rasa yang tak bisa dikendalikannya.
tapi dia yakin, bahwa sang pemberi cinta menginginkannya untuk lebih dekat mengenal-Nya. akalnya masih diberi kesempatan untuk memilih, meskipun peluangnya sangat sedikit. dari situlah saya mencoba menuliskan kenyataan itu, dengan menulis dan menulis. baginya, menyalahkan seseorang bukanlah hal bijak, apalagi menilai pengalamannya sebagai pengalaman buruk. tidak. karena dari perjalanan itulah dia mengaku menjadi semakin dekat denganNya. hingga akhirnya dia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. kepergiannya saat itu hanya untuk memohon kesembuhan dan petunjuk atas sekian rasa yang menderanya.
翻訳されて、しばらくお待ちください..
