Pasca keruntuhan pemerintahan Soeharto dan kekuasaan rejim Orde Baru bangsa Indonesia mulai menapaki sebuah masa transisi menuju demokrasi . Selama masa itu berbagai bentuk perubahan sosial telah terjadi di tengah dinamika dan pasang surut kehidupan demokrasi di negeri ini. Namun, kondisi negara tampaknya masih jauh dari kepulihan, dan tetap diselimuti bayang-bayang ketidakpastian. Hal itu tercermin dari kegamangan aturan hukum, instabilitas politik serta ancaman disintegrasi bangsa. Krisis ekonomi dan moneter juga masih belum teratasi disertai beban utang luar negeri, predikat sebagai negara terkorup, dan krisis kepemimpinan dalam pemerintahan. Kondisi memprihatinkan ini semakin memperkuat karakteristik berlangsungnya fase infantilisme politik . Sebagai sebuah sistem sosial, ekonomi dan kebudayaan, kondisi krisis dan fase infantilisme politik itu telah ikut memperjelas karakteristik pembangunan politik era sebelumnya. Dalam banyak hal, pembangunan politik Orde Baru tak ubahnya bagai “rumah kartu”, yang seketika ambruk satu persatu terkena hantaman badai krisis, karena didasari oleh kepalsuan, dikembangkan dengan kekerasan, lalu berakhir dengan tragedi yang sangat dramatis . Tuntutan desentralisasi yang terjadi setelah itu berhasil mengubah orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik. Kenyataan ini telah memicu konsolidasi parameter-parameter primordialisme dalam komunitas politik lokal, yang bisa menyuburkan berkembangnya primordialisme yang ikut memperkuat sentimen kedaerahan, kesukuan dan etnisitas secara berlebihan. Hal ini terlihat jelas misalnya, dari semangat pembentukan propinsi-propinsi baru, seperti Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, Papua Tengah dan Papua Timur. Otonomi daerah masih dipandang sebagai sebuah proses deteritorialisasi, yaitu transformasi batas-batas wilayah warisan masa lalu, yang di dalamnya dianggap terdapat berbagai bentuk ketidakadilan. Proses ini diikuti dengan reteritorialisasi, berupa klaim-klaim atas (batas-batas baru) wilayah (dan sumber daya alamnya), yang dianggap lebih mencerminkan keadilan . Selanjutnya berbagai cara daerah dalam merespons pemberian kebebasan dalam berotonomi tersebut, dari menargetkan peningkatan PAD semaksimal mungkin, hingga menuntut hak-hak otonomi khusus kepada pemerintah pusat. Otonomi daerah yang ide awalnya diharapkan akan mampu meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi rakyat, dalam implementasinya ternyata hanya dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan finansial dan politik oleh segelintir elite lokal yang menjadi “raja-raja” baru di daerah dengan melakukan berbagai tindakan korupsi. Disamping itu berbagai kemelut juga masih kerap terjadi dalam pemilihan kepala daerah, yang tidak jarang disertai tindakan anarkis, mencerminkan betapa tajamnya konflik kepentingan kelompok elite politik pusat dengan aspirasi masyarakat “akar rumput” di daerah. Berbagai perilaku politik para pejabat dan elite politik baik di pusat maupun daerah cenderung menjadikan sistem kekeluargaan yang bersifat extended family ke arah sistem patronase yang kental dengan budaya patrimonial. Sistem ini ternyata sangat permisif bagi berkembangnya bentuk partikularisme baru dalam pemerintahan daerah. Berbagai problema otonomi daerah itu mengisyaratkan bahwa pergeseran format pengaturan politik di aras nasional, telah banyak menimbulkan permasalahan di daerah. Namun, proses menuju transisi demokrasi yang tengah berlangsung hingga kini dapat diakui telah menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara simultan, yakni desentralisasi dan demokratisasi. Hal ini terlihat jelas dari adanya perubahan orientasi dari negara ke masyarakat, dari isu pemerintahan ke isu tata pemerintahan, dari politik tradisional ke politik transformatif serta dari sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik . Lahirnya gagasan tata pemerintahan demokratis (democratic governance) yang menyertai proses itu, sejatinya untuk mendorong negara berbagi kekuasaan ke samping dengan masyarakat sipil (civil society) dan bisnis, ke bawah dengan masyarakat lokal, dan ke atas dengan institusi trans-nasional . Dengan pergeseran format pengaturan politik ke aras lokal diyakini lebih memungkinkan berlangsungnya perubahan mendasar dalam karakteristik relasi kekuasaan antara daerah-daerah dengan pusat serta membuat daerah kabupaten/ kota diberikan keleluasaan untuk menghasilkan keputusan-keputusan politik tanpa harus diintervensi oleh pusat. Pergeseran format pengaturan politik yang lebih mengarah ke aras lokal itu pada gilirannya juga telah menghasilkan desentralisasi kekuasaan melalui dua kali perubahan undang-undang, yaitu Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diamandemen lagi menjadi Undang-undang No. 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dibandingkan dengan Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, kedua undang-undang yang disebutkan terakhir relatif memberikan peluang yang jauh lebih luas bagi daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan demokratis di daerah , khususnya dalam hal pengaturan bidang sosial politik, ekonomi dan kebudayaan yang sebelumnya diatur secara terpusat. Seiring berakhirnya hegemoni negara yang sebelumnya tampak dari dominasi pengaruh pusat serta kecenderungan para elite politik yang masih state centris, memihak ke ‘atas’ daripada ke ‘bawah’ (masyarakat) sebagai implikasi dari sisa budaya feodal, perlu disertai upaya mendekonstruksi praktek otonomi daerah selama ini yang hanya mengejar pertumbuhan PAD serta mengentalkan isu daerahisme serta primordialisme. Padahal, otonomi bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan, sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan sikap egoisme kelompok (suku, agama, ras), eksklusivisme teritorial (wilayah, daerah, kawasan), serta sikap intoleran terhadap orang, kelompok atau suku lain. Masyarakat lokal juga masih ditempatkan dalam posisi kekuatan marjinal yang harus tunduk dan taat kepada segala keputusan elite pusat. Problema ini semakin kompleks karena menyangkut tidak hanya keterlepasan daerah dari hegemoni negara dan memperluas otonomi daerah, tetapi juga mempertahankan semangat dan euforia berotonomi dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika (kesatuan dalam keanekaragaman) sebagai manifestasi demokrasi dalam masyarakat multikultural . Semangat dan manifestasi demokrasi melalui penguatan partisipasi politik juga tampak dalam kehidupan masyarakat Bali pada awal gerakan reformasi. Walaupun tidak sampai menimbulkan konflik horisontal yang berarti, tetapi jelas tampak adanya bentuk perlawanan melalui gerakan demonstrasi dan penggalangan massa pemuda yang sempat mencetuskan opsi ‘Bali Merdeka’. Fenomena ini merupakan ekspresi kekecewaan sebagian masyarakat (perkotaan) Bali terhadap pernyataan AM Saefudin seorang tokoh PPP yang mengangkat isu primordial, bahwa pemeluk agama Hindu yang minoritas tidak layak dan tidak berhak menjadi presiden di negeri ini. Selanjutnya ketika memasuki masa transisi demokrasi, pada 21 Oktober 1999 terjadi kerusuhan massal di beberapa kota di Bali yang dipicu oleh kegagalan Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden menggantikan BJ Habbie. Kejadian ini sekaligus mencerminkan betapa di balik ketenangan dan keramahannya, masyarakat Bali juga menyimpan sejumlah potensi konflik vertikal yang berujung pada tindakan kekerasan . Mereka merasa sangat kecewa karena aspirasinya tidak menjadi kenyataan. Cara-cara mengekspresikan kekecewaan itu kemudian tidak terkontrol dan berkembang menjadi tindakan anarkis dengan pembakaran dan penghancuran kantor-kantor pemerintah dan fasilitas umum yang meluas hampir di sebagian kota-kota besar di Bali. Belum pulih benar dari trauma akibat kerusuhan massal tersebut, tiga tahun berikutnya masyarakat Bali kembali dikejutkan dengan dua kali peristiwa pengeboman, di Legian 12 Oktober 2002, serta di Kuta dan Jimbaran 1 Oktober 2005. Pada taraf tertentu, tragedi beruntun itu telah membawa perubahan mendasar dalam sikap dan tata kehidupan masyarakat Bali karena tidak seperti daerah lain, pendapatan asli daerah (PAD) Bali sangat tergantung dari sektor pariwisata. Dampak peristiwa itu terbukti sangat menghambat kegiatan ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah karena penurunan secara drastis jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali. Di samping itu juga memunculkan efek domino pada penurunan pendapatan masyarakat, pemutusan hubungan kerja, hingga pergeseran ke arah semakin merenggangnya sendi-sendi toleransi masyarakat Bali, khususnya dalam interaksinya dengan penduduk pendatang. Berbagai persoalan tersebut kemudian disertai dengan dampak dinamika politik lokal di Bali yang cukup bervariasi, baik sebagai akibat dari ataupun merupakan kasus yang paralel dengan pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa isu dan persoalan yang sempat mencuat ke permukaan dalam enam tahun terakhir diantaranya: kekecewaan masyarakat Bali terhadap kinerja DPRD yang berujung dugaan penyelewenagan dana APBD, ketegangan antara kabupaten/ kota dengan pemerintah provinsi akibat timpangnya distribusi Pajak Hotel dan Restoran di Bali, tuntutan otonomi khusus (otsus) Bali, penolakan megaproyek geothermal di Bedugul hingga penolakan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi . Isu dan persoalan tentang tuntutan otonomi khusus (otsus) bagi Bali kepada pemerintah pusat sebagai solusi mengatasi berbagai dampak ketidakharmonisan hubungan pusat dengan daerah Bali juga sudah diperjuangkan. Otonomi khusus (otsus) tersebut oleh para penggagasnya dimaksudkan untuk memperjuangkan beberapa kepentingan strategis masyarakat Bali . Pertama, menjaga dan mengembangkan kapasitas institusi sosio kultural di Bali, terutama dalam kaitannya dengan desa adat/ pakraman dan istitusi adat lainnya. Kedua, meningkatkan perolehan pendapatan negara yang berasal dari Bali, khususnya perolehan bagi hasil yang lebih adil dalam kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini sering dikait