Lagu selanjutnya berjudul Heyya Kid

Lagu selanjutnya berjudul Heyya Kid, lagu yang membuat penonton gerah untuk tidak bergerak. Dalam lagu ini, Rasus Budhyono sang 2peniup whistle menitipkan sebuah pesan untuk anaknya yang harus tegar berjuang melawan fenomena bully di lingkungan sekolahnya. Sebuah jamming yang memberi ruang eksplorasi para pemain.

Lagu yang paling mencuri perhatian saya malam itu adalah Puraka, sebuah lagu berbahasa sanskrit yang diambil dari satu bagian prasasti Karang Tengah 1.300 tahun lalu. Isi prasasti ini tidak terdokumentasikan oleh pemerintah Indonesia, namun tersimpan baik oleh seorang filolog asal Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis, yang tercatat dalam bukunya Prasasti I: Inscripties uit de Çailendra-tijd, (1950). Isinya adalah mengenai inkarnasi (menubuh) dan re-inkarnasi (kembali menubuh).

“Beruntung sekali, Indonesia adalah negara yang sangat baik mendokumentasikan sejarahnya,” ujar Galih menyindir buruknya pengarsipan sejarah pemerintah Indonesia. Lirik dalam lagu ini apabila diartikan masih sangat relevan dengan kondisi sekarang, ketika persoalan kerukunan antar golongan selalu menjadi masalah.

Dibanding lagu lain, lagu ini adalah repertoar yang cukup panjang. Delapan menit mereka menghadirkan eksperimentasi musik folk yang mampu menghadirkan nuansa mistikal 1.300 tahun lalu (setidaknya yang ada dalam gambaran saya). Mereka menghadirkan cerita yang ada dalam prasasti tersebut ke dalam ruangan, meski sebagian besar tidak mengerti arti liriknya.

結果 (英語) 1:

The next song titled Heyya Kid, a song that makes the audience stifling to not move. In this song, the 2peniup whistle Budhyono Rasus left a message for her son who had to toughen up fighting against the phenomenon of the bully in the school environment. A jamming that give space exploration its players.Most song steal my attention that night was Puraka, a sanskrit-language songs are taken from the Karang Tengah inscription in one of 1,300 years ago. The contents of the inscription was not documented by the Government of Indonesia, but preserved by an original philologist, Netherlands, Johannes Gijsbertus de Casparis, recorded in his Inscriptions I: Inscripties uit de tijd-Çailendra, (1950). Its content is about the incarnation (menubuh) and re-incarnation (back menubuh)."Lucky once, Indonesia is a country that is very well documented history," said Galih quipped bad archiving the history of the Government of Indonesia. The lyrics in this song when construed is still very relevant to present conditions, when the question of unity between groups has always been a problem.Compared to other songs, this song was a fairly lengthy repertoire. Eight minutes they present folk music experimentation that is capable of presenting the mystical overtones of 1,300 years ago (at least the one in the picture I). They are presenting stories in the inscription into the room, though most do not understand the meaning of the lyrics.