TAFAKUR RAMADAN (23)
31 Juli 2013 pukul 5:18
~ DZIKIR YANG BAIK, MENYEHATKAN ~
SUATU ketika saya diundang oleh Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya, untuk ikut menguji seorang kandidat doktor dalam sidang terbuka. Promotornya adalah Prof. Dr. SuhartonoTaat Putra, MS. dr., yang pakar Psycho Neuro Imunologi (PNI). Sedangkan mahasiswanya adalah seorang dokter umum yang mendalami ilmu agama di Pasca Sarjana IAIN, dan kemudian mengambil disertasi S-3 tentang dzikir terkait dengan kesehatan.
Saya sangat antusias dengan undangan itu, meskipun awalnya tidak tahu kenapa saya diundang untuk ikut memberikan pertanyaan bersama para guru besar di Fakultas Kedokteran. Karena, selain saya bukan lulusan Fakultas Kedokteran, saya juga bukan guru besar yang layak untuk menguji kandidat doktor. Apalagi background formal saya adalah Teknik Nuklir.
Tetapi, Pak Taat lantas menjelaskan alasannya kenapa mengundang saya. Diantaranya, dia menganggap saya sebagai seorang praktisi dzikir yang sudah memberikan pelatihan-pelatihan tentang itu. Dan juga sudah menulis buku-buku tentang dzikir secara medical-science, yang sangat berimpitan dengan bidang yang sedang dia geluti, yakni Psycho Neuro Imunology (PNI). Diantaranya adalah ‘Dzikir Tauhid’, ‘Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh’, ‘Bersatu dengan Allah’, dan ‘Energi Dzikir Alam Bawah Sadar’.
Mahasiswa S-3 yang sedang dia bimbing itu mengambil tema disertasi ‘Pengaruh Dzikir pada Kadar HSP-72sebagai indikator Peningkatan Imunitas Tubuh’. Yakni, sebuah proses pembuktian bahwa dzikir yang baik bisa meningkatkan kualitas kesehatan seseorang karena daya imunitasnya meningkat. Dalam disertasinya, hal itu memang terbukti. Imunitas para anggota majelis dzikir yang ditelitinya secara statistik meningkat.Tandanya, adalah peningkatan secara signifikan kadar hormon Heat Shock Protein (HSP-72) di dalam darah mereka.
Untuk melengkapi disertasinya, dalam forum itu saya memberikan pertanyaan dan tinjauan dalam sudut pandang berbeda. Bahwa, secara ilmiah, memang sudah terbukti dzikir bisa meningkatkan imunitas tubuh. Namun, yang menarik adalah ketika dia mengaitkan pembuktian itu dengan mengutip ayat Al Qur’an berikut ini. QS. Ar Ra’d (13):28, ‘’(yaitu) orang-orang yang BERIMAN, dan hati mereka menjadi TENTERAM dengan BERDZIKIR (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah-lah hati menjadi tenteram.’’
Maka, saya memberikan pertanyaan dan pembahasan seputar keterkaitan ayat itu dengan disertasinya. Ada tiga parameter yang terkandung di dalam ayat di atas. Yaitu, beriman, berdzikir, dan rasa tenteram. Yang kemudian dikaitkan dengan peningkatan kadarHSP-72 sebagai indikator kesehatan. Jika dirumuskan dalam sebuah kalimat, keterkaitannya akan menjadi sebagai berikut: seseorang yang BERIMAN jika BERDZIKIR akan menghasilkan KETENTERAMAN batin, dan dampaknya adalah meningkatnya kadar hormon HSP-72, sehingga memperbaiki daya IMUNITAS tubuhnya.
Jadi, imunitas tubuh seseorang yang berdzikir itu akan mengalami peningkatan seiring dengan kadar HSP-72. Sedangkan kadar hormon ini di dalam darah dipengaruhi oleh rasa tenteram dalam jiwanya. Selanjutnya, perasaan tenteram tersebut terjadi jika kita selalu mengingat Sang Maha Kuasa dengan cara berdzikir. Dan kualitas dzikir itu ternyata sangat dipengaruhi oleh tingkat keimanan.
Maka, sebagaimana saya jelaskan pada tulisan-tulisan yang lalu, keimanan adalah kunci dari kualitas ibadah kita. Jika keimanannya buruk, kualitas ibadahnya pun akan ikut-ikutan buruk. Sebaliknya, jika kadar keimanannya meninggi, kualitas ibadahnya pun ikut meninggi. Keimanan adalah keyakinan yang berbasis pada keilmuan. Artinya, orang yang beriman itu bukanlah orang yang dipaksa-paksa untuk percaya dan meyakini segala aktivitas keagamaan ini, melainkan orang yang sudah memahami secara ilmiah, sehingga memperoleh keyakinan yang kuat atas apa yang dilakukannya.
Itulah sebabnya, dzikir yang tidak didasari oleh pemahaman yang baik tidak akan bisa menghasilkan ketenteraman jiwa secara substansial. Dan karenanya, tidak akan menimbulkan peningkatan kadar HSP-72. Yang akhirnya, juga tidak berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan. Itulah yang saya sebut sebagai dzikir yang sekedar terjebak pada ritual belaka.
Agar dzikir berdampak secara lahir dan batin, dzikir harus dimulai dengan keimanan. Dengan kepahaman atas kalimat-kalimat yang kita dzikirkan. Di level ini, obyektivitas sudah kalah oleh subyektivitas. Atau, lebih tepat lagi, obyektivitas hanya merupakan dampak saja dari subyektivitas. Yakni, peningkatan HSP-72 yang diukur secara obyektif itu ternyata adalah hasil dari olah batin yang bersifat subyektif.
Membaca kalimat dzikir yang sama dalam sebuah komunitas dzikir, belum tentu menghasilkan dampak yang sama bagi setiap anggotanya. Tergantung pada kepahaman dan penghayatan kita terhadap apa yang sedang kita kerjakan. ‘Berisi’ ataukah tidak, secara spiritual. Jika ‘berisi’, maka hasilnya signifikan. Semakin ‘berisi’, semakin dahsyat dampaknya. Jadi, keimanan adalah soal ‘mengisi’ bobot spiritual pada aktivitas yang kita lakukan.
Semakin berbobot – semakin tepat frekuensinya dan semakin besar intensitasnya – maka semakin besar pula energi yang terkandung di dalamnya. Yang jika diresonansikan kepada apapun dan siapa pun, akan mentransfer energi yang besar sebagaimana telah kita bahas di tulisan sebelumnya. Termasuk, menjadi sangat bermanfaat buat kesehatan kita.
Karena itu, tidak mengherankan, dalam sejumlah kasus kedokteran praktek dzikir ini bisa digunakan sebagai media terapi untuk menyembuhkan penyakit. Bahkan, pada kasus-kasus yang sangat parah dan hopeless. Misalnya, pada seorang kawan saya yang terkena kanker otak stadium empat. Dokter sudah memvonis tidak mungkin disembuhkan. Dan sisa usianya tidak akan lebih dari tiga bulan.
Tetapi sungguh ajaib, ketika dia yang sudah putus asa itu menjalani dzikir intensif dengan sepenuh kepasrahan kepada Sang Maha Penyembuh. Keterjepitan dan keyakinannya kepada Sang Maha Pemurah sedemikian besarnya, sehingga memberi ‘bobot’ spiritual yang sangat dahsyat pada ibadahnya. Dan dampaknya pun menjadi luar biasa.
Kanker otak yang sudah membuatnya kejang-kejang itu, semakin lama semakin meluruh. Daya tahan tubuhnya meningkat. Kemampuan homeostasis dalam sistem imunitas tubuhnya menjadi sedemikian aktif menghancurkan sel-sel kanker di dalam kepalanya. Dan tiga bulan kemudian dari saat divonis oleh dokter itu ia bukannya meninggal dunia, tetapi justru menjadi lebih sehat. Dan lima tahun kemudian dia duduk satu meja dengan saya sebagai narasumber dalam sebuah seminar di sebuah perguruan tinggi di Malang: dia telah sembuh dari kankernya..! Subhanallaah.
QS. Asy Syu’araa (26): 78-80. ‘’(Allah) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku (ke jalan yang lurus), (dan) Dia (pula) yang memberiku makan dan minum, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku...’’
Wallahu a’lam bissawab.
(NB: Serial Tafakur Ramadan ini ditulis untuk koran Kaltim Post – Grup Jawa Pos. Dan diunggah di FB untuk memberi manfaat lebih luas.)