OH, ASAP PEKAT YANG MENJERAT
Sayap-sayap asap mengambang menerjang bumi Sumatra dan Kalimantan yang kian bermuka bopeng acak-acakan di bawah langit biru yang menjadi kelabu. Beda dengan manusia, sang monster ini tidak diskriminatif berlaku dan menyelinap tanpa pandang bulu ke segala ventilasi bangunan, menelusuri lubang hidung gubernur hingga tukang sapu, yang kaya dan yang miskin, yang mayoritas dan yang minoritas. Terangkum data yang menunjuk ratusan kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan; di Riau tercatat 37 kasus, Sumatera Selatan 16 kasus, Kalimantan Barat 11 kasus, dan Kalimantan Tengah 121 kasus.
Terkabar tentang banyaknya nyawa yang sudah dipanggil balik oleh Tuhan lantaran terhirup udara kotor yang meneror, sementara itu lebih dari 50.000 orang menjadi sakit akibat ulah monster berjelaga yang menjadi biang keladinya. Dinas Kesehatan Provinsi Riau menyebutkan 35.972 jiwa terjangkit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), 1.627 terserang asma, 2.131 mengalami gangguan mata, 2.815 terkena penyakit kulit, serta 638 terserang pneumia. Ini hanya jumlah yang tercatat dan biasanya fakta yang tidak terlihat melebihi info resmi yang didapat.
Korban-korban asap yang sudah terjadi sejak 18 tahun yang silam ini akan terus berjatuhan karena ketakbecusan dan kelalaian pemerintah dalam mengurus malapetaka yang menguras energi dan merampas waktu belajar generasi muda, yang di antaranya berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu libur sekolah. Jelas, akan terjadi penurunan fungsi paru-paru yang teriritasi terus-menerus lantaran menghirup udara berbahaya setiap hari.
Tetapi, biang keladi yang sebenarnya adalah manusia itu sendiri dengan segala kerakusannya mencari keuntungan dengan cara cepat yang murah meriah, tetapi mengerikan, tanpa peduli hak hidup orang lain. Sekaligus memusnahkan jutaan tumbuhan dan binatang yang juga punya hak hidup di atas bumi ini. Dalam sejarahnya memang banyak manusia yang tercipta itu menjadi langau hijau bagi yang lain dan mengenyampingkan moral yang digumam-gumamkan lewat mulut yang berbusa-busa siang malam.
Kendati kepolisian RI sudah menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya petinggi perusahaan, dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, permainan kucing-kucingan dan kongkalingkong yang terjadi di Indonesia terus menimbulkan keraguan akan keseriusan pemerintah, lantaran malapetaka ini tidak pernah habis-habisnya sejak belasan tahun yang lalu. Kita tahu bahwa pemerintah bagai impoten menghadapi kejahatan perusahaan yang, dengan kekuatan uang, berulang kali lolos dari jerat hukum. Seringnya yang ditangkap dan divonis bersalah oleh pengadilan adalah yang kelas teri atau orang awam yang kerap dijadikan tumbal perusahaan.
Dalih politis atas tanah yang bergambut-gambut sering didengung-dengungkan atas meluasnya kebakaran rutin tahunan ini, tanpa berani menguakkan substansi permasalahan yang sebenarnya yang dipicu oleh keberadaan perusahaan sawit, dekadensi moral, dan lain sebagainya. Kementerian Kesehatan sendiri membeberkan bahwa 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan merupakan faktor yang disengaja.
Kerugian multisektor yang bertimpa-timpa itu tidak hanya dirasakan oleh warga Indonesia saja, melainkan juga negeri jiran Singapura dan Malaysia yang terbatuk-batuk menghirup udara bertuba. Indeks pencemar udara yang menyentuh 341, yang menembus indeks berbahaya 300 ke atas, memaksa pemerintah Singapura merumahkan banyak muridnya.
Salah satu tanggapan yang dilontarkan Teten Masduki, kepala staf kepresidenan, menanggapi kekecewaan dan keberangan Singapura atas kiriman asap yang mengganggu itu adalah Singapura harus beryukur dapat menikmati suplai oksigen secara gratis dari Indonesia selama 9 bulan. Suatu tanggapan menyimpang dari seorang petinggi selevel dia, yang mestinya lebih pikirkan apa yang mau dikatakan dan bukannya katakan apa yang terpikir. Suatu tanggapan bodoh yang lebih menelanjangi kualitas pejabat teras kita.
Metro TV pada 4 Oktober menayangkan tentang jarak pandang yang hanya 50 m saja di Kota Jambi, sedangkan keadaan di Kota Pekanbaru juga merisikan hati. Tidaklah mengherankan kalau banyak orang yang sudah hengkang melarikan diri ke Sumbar dari Jambi dan Riau yang sebagian udara di kawasannya berkategori tidak sehat hingga berbahaya. Koran Tempo, 26 September, merilis Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Jambi yang menilai SUDAH SEPANTASNYA WARGA KOTA JAMBI DAN SEKITARNYA DIEVAKUASI KE DAERAH LAIN, lantaran indeks pencemaran udara menunjuk angka 525, yang melebihi batas indeks berbahaya. Kepala BPBP itu menegaskan, “INI BENAR-BENAR LUAR BIASA, SUDAH SANGAT BERBAHAYA BAGI KESEHATAN.”
Tidak ada jaminan dari pemerintah sama sekali bahwa asap dari kebakaran hutan tidak akan terjadi lagi pada musim kemarau tahun depan. Kita mesti saling bersolidaritas dan menolong yang terkena bencana dengan tulus ikhlas.
Sumber: Berbagai media massa
結果 (
日本語) 1:
[コピー]コピーしました!
OH, ASAP PEKAT YANG MENJERATSayap-sayap asap mengambang menerjang bumi Sumatra dan Kalimantan yang kian bermuka bopeng acak-acakan di bawah langit biru yang menjadi kelabu. Beda dengan manusia, sang monster ini tidak diskriminatif berlaku dan menyelinap tanpa pandang bulu ke segala ventilasi bangunan, menelusuri lubang hidung gubernur hingga tukang sapu, yang kaya dan yang miskin, yang mayoritas dan yang minoritas. Terangkum data yang menunjuk ratusan kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan; di Riau tercatat 37 kasus, Sumatera Selatan 16 kasus, Kalimantan Barat 11 kasus, dan Kalimantan Tengah 121 kasus.Terkabar tentang banyaknya nyawa yang sudah dipanggil balik oleh Tuhan lantaran terhirup udara kotor yang meneror, sementara itu lebih dari 50.000 orang menjadi sakit akibat ulah monster berjelaga yang menjadi biang keladinya. Dinas Kesehatan Provinsi Riau menyebutkan 35.972 jiwa terjangkit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), 1.627 terserang asma, 2.131 mengalami gangguan mata, 2.815 terkena penyakit kulit, serta 638 terserang pneumia. Ini hanya jumlah yang tercatat dan biasanya fakta yang tidak terlihat melebihi info resmi yang didapat. Korban-korban asap yang sudah terjadi sejak 18 tahun yang silam ini akan terus berjatuhan karena ketakbecusan dan kelalaian pemerintah dalam mengurus malapetaka yang menguras energi dan merampas waktu belajar generasi muda, yang di antaranya berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu libur sekolah. Jelas, akan terjadi penurunan fungsi paru-paru yang teriritasi terus-menerus lantaran menghirup udara berbahaya setiap hari.Tetapi, biang keladi yang sebenarnya adalah manusia itu sendiri dengan segala kerakusannya mencari keuntungan dengan cara cepat yang murah meriah, tetapi mengerikan, tanpa peduli hak hidup orang lain. Sekaligus memusnahkan jutaan tumbuhan dan binatang yang juga punya hak hidup di atas bumi ini. Dalam sejarahnya memang banyak manusia yang tercipta itu menjadi langau hijau bagi yang lain dan mengenyampingkan moral yang digumam-gumamkan lewat mulut yang berbusa-busa siang malam. Kendati kepolisian RI sudah menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya petinggi perusahaan, dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, permainan kucing-kucingan dan kongkalingkong yang terjadi di Indonesia terus menimbulkan keraguan akan keseriusan pemerintah, lantaran malapetaka ini tidak pernah habis-habisnya sejak belasan tahun yang lalu. Kita tahu bahwa pemerintah bagai impoten menghadapi kejahatan perusahaan yang, dengan kekuatan uang, berulang kali lolos dari jerat hukum. Seringnya yang ditangkap dan divonis bersalah oleh pengadilan adalah yang kelas teri atau orang awam yang kerap dijadikan tumbal perusahaan.Dalih politis atas tanah yang bergambut-gambut sering didengung-dengungkan atas meluasnya kebakaran rutin tahunan ini, tanpa berani menguakkan substansi permasalahan yang sebenarnya yang dipicu oleh keberadaan perusahaan sawit, dekadensi moral, dan lain sebagainya. Kementerian Kesehatan sendiri membeberkan bahwa 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan merupakan faktor yang disengaja.Kerugian multisektor yang bertimpa-timpa itu tidak hanya dirasakan oleh warga Indonesia saja, melainkan juga negeri jiran Singapura dan Malaysia yang terbatuk-batuk menghirup udara bertuba. Indeks pencemar udara yang menyentuh 341, yang menembus indeks berbahaya 300 ke atas, memaksa pemerintah Singapura merumahkan banyak muridnya.Salah satu tanggapan yang dilontarkan Teten Masduki, kepala staf kepresidenan, menanggapi kekecewaan dan keberangan Singapura atas kiriman asap yang mengganggu itu adalah Singapura harus beryukur dapat menikmati suplai oksigen secara gratis dari Indonesia selama 9 bulan. Suatu tanggapan menyimpang dari seorang petinggi selevel dia, yang mestinya lebih pikirkan apa yang mau dikatakan dan bukannya katakan apa yang terpikir. Suatu tanggapan bodoh yang lebih menelanjangi kualitas pejabat teras kita.Metro TV pada 4 Oktober menayangkan tentang jarak pandang yang hanya 50 m saja di Kota Jambi, sedangkan keadaan di Kota Pekanbaru juga merisikan hati. Tidaklah mengherankan kalau banyak orang yang sudah hengkang melarikan diri ke Sumbar dari Jambi dan Riau yang sebagian udara di kawasannya berkategori tidak sehat hingga berbahaya. Koran Tempo, 26 September, merilis Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Jambi yang menilai SUDAH SEPANTASNYA WARGA KOTA JAMBI DAN SEKITARNYA DIEVAKUASI KE DAERAH LAIN, lantaran indeks pencemaran udara menunjuk angka 525, yang melebihi batas indeks berbahaya. Kepala BPBP itu menegaskan, “INI BENAR-BENAR LUAR BIASA, SUDAH SANGAT BERBAHAYA BAGI KESEHATAN.”Tidak ada jaminan dari pemerintah sama sekali bahwa asap dari kebakaran hutan tidak akan terjadi lagi pada musim kemarau tahun depan. Kita mesti saling bersolidaritas dan menolong yang terkena bencana dengan tulus ikhlas.Sumber: Berbagai media massa
翻訳されて、しばらくお待ちください..
