Partisipasi Warga Terdampak Pertambangan Diaborsi Jelang Rezim Lelang Wilayah Pertambangan
Jakarta (27 Maret 2014) Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengaborsi partisipasi warga terdampak pertambangan dalam penetapan wilayah pertambangan seperti yang diwajibkan oleh UU Minerba dan telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 32/PUU-VIII/2010.
UU Minerba menyatakan penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; secara terpadu dengan memperhatikan pendapat masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan (Pasal 10).
Putusan Mahkamah Konstitusi No 32/PUU-VIII/2010 menyatakan frasa “memperhatikan pendapat masyarakat” dalam Pasal 10 UU Minerba bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”.
MK juga menyatakan “wujud pelaksanaan kewajiban menyertakan pendapat masyarakat harus dibuktikan secara konkret difasilitasi oleh Pemerintah. Bukti konkret tersebut dapat mencegah terjadinya konflik antarpelaku usaha pertambangan dengan masyarakat dan negara yang ada dalam Wilayah Pertambanga tersebut.
Bukannya memfasilitasi, tapi KESDM telah mengaborsi ketentuan partispasi warga terdampak pertambangan ini lewat penetapan wilayah pertambangan per pulau tanpa partisipasi warga terdampak.
Hal itu dilakukan lewat Keputusan Menteri ESDM no 2737 K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Sulawesi, Keputusan no 4002 K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Kepulauan Maluku, Keputusan no 4004 K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Papua, Keputusan no 4003 K/30/MEM/2013 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Kalimantan, Keputusan no 1329 K/30/MEM/2014 Penetapan Wilayah Pertambangan Kepulauan Nusa Tenggara, Keputusan no 1095 K/30/MEM/2014 Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Sumatera. Wilayah pertambangan yang telah belum ada ijin selanjutnya akan dilelang kepada investor tambang.
Kendati penambangan bisa mendatangkan keuntungan cepat bagi sebagian kelompok, kenyataannya banyak kegiatan penambangan menciptakan kerusakan lingkungan menyebabkan ekonomi warga sebagai petani, nelayan turun hingga 80%, bahkan bangkrut.
WALHI lewat penelitian “Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan, 2003” dengan mewawancarai warga yang terdampak pertambangan dan juga pemerintah daerah menemukan bahwa tidak ada ruang bagi masyarakat terdampak untuk berpartisipasi, memberikan pendapat terhadap proses penetapan tata ruang yang sedang dibahas. Penelitian ini melihat dalam bentuk normatif dan empiris terhadap proses partisipasi masyarakat. Terlebih dalam tahun politik ini kerap kali izin dalam sektor sumber daya alam menjadi komoditi untuk dapat digunakan sebagai dana kampanye.
Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI menyatakan, “Melelang wilayah pertambangan, padahal di dalamnya terdapat wilayah kelola warga terdampak akan memperbanyak catatan konflik warga dan industri pertambangan. Pemerintah SBY di sisa masa jabatannya masih ada waktu untuk tidak mewariskan kebijakan tak partisipatif terhadap warga terdampak dengan mengeluarkan peraturan pemerintah mengatur tentang partisipasi warga terdampak wilayah pertambangan.”
Deni Bram pakar hukum lingkungan dari Universitas Tarumanagara menyatakan, “partisipasi warga terdampak pertambangan perlu difasilitasi pemerintah seperti telah diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dampak negatif pertambangan dapat menyebabkan kemiskinan dan persoalan kesehatan, perasaan dan pendapat warga tentang ini tidak bisa diwakili oleh pemerintah daerah ataupun dprd yang dalam lima tahun terakhir banyak mengeluarkan izin hingga 10.000 buah kini. Semua izin yang telah diberikan sertifikat clear and clean harus ditinjau kembali menyangkut partisipasi masyarakat terdampak. Dan lelang wilayah pertambangan tidak bisa dilakukan sebelum ada persetujuan/partisipasi warga terdampak. Putusan Mahkamah Konstitusi wajib ditindaklanjuti secara sistematis dan komprehensif oleh tataran eksekutif dalam rangka menciptakan pola partisipasi yang substansial yang menjamin terserapnya kepentingan masyarakat dan meletakkan kembali masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi” (selesai).