Malang bagi keluarga ini, lurah setempat menyatakan ia tidak termasuk dalam daftar keluarga miskin yang bisa mendapat kartu JPS. Lurah memberinya surat keterangan tidak mampu. Namun surat keterangan itu tidak berlaku di RS milik pemerintah itu. Aneh! Akhirnya si ibu harus pulang dan sang suami tetap membayar Rp 3 juta, dari hasil jual motor, satu-satunya sumber mata pencariannya. RS "pemerintah" "berhasil" menciptakan penduduk miskin (impoverished) baru.
Tanggal 28 September pagi, SCTV menayangkan kejadian memilukan yang terjadi di negeri yang konon suka gotong royong, juga terkait akses pelayanan RS. Seorang ayah, Henri Altriansyah, di Tangerang mengiklankan untuk menjual organ tubuhnya demi membiayai pengobatan anaknya yang memerlukan biaya puluhan juta. Sebagai seorang setengah menganggur, ia tidak memiliki uang sebanyak itu. Keluarga besarnya juga tidak mampu menyediakan biaya sebanyak itu. Malang (atau untung? Entahlah!) si anak tidak rela orangtuanya menjual sebagian dirinya. Si anak meninggal sebelum sang ayah berhasil menjual organ tubuhnya.
Sebagai bangsa yang mengaku berketuhanan yang Maha Esa dan menjunjung Sila Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, kita pantas berintrospeksi. Mengapa kasus di atas sering terjadi di negeri ini? Selain itu, banyak pasien yang sudah membayar mahal di RS pemerintah, pelayanannya kurang memuaskan.
Di Thailand dan Malaysia
Seandainya si tukang ojek dan Hendi yang malang itu adalah warga negara Thailand atau Malaysia, keduanya tidak perlu menangis atau menjadi miskin karena penyakit yang tidak pernah dimintanya.
Pemerintah Thailand menerapkan "30 Baht Policy". Negeri Seribu Gajah itu tidak jauh lebih kaya dari Indonesia, tetapi negeri itu mampu membuat kebijakan kesehatan yang "pro rakyat". Dengan kebijakan 30 baht (setara dengan Rp 6.000) pemerintah menjamin seluruh penduduknya mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Penduduk yang pegawai negeri atau karyawan swasta dijamin melalui sistem jaminan sosial, sedangkan sektor informal hanya membayar 30 baht untuk sekali berobat atau dirawat di RS. Meski seorang penduduk harus masuk ICU satu minggu (bila terjadi di Indonesia seorang pasien harus membayar Rp 10 juta lebih), penduduk Thailand hanya membayar 30 baht. Jumlah itu sudah termasuk jasa dokter, biaya laboratorium, rontgen, operasi, atau obat-obatan.
Bagaimana mungkin? Sistemnya sederhana. Prinsipnya, semua rakyat harus bisa memperoleh pelayanan di RS sesuai penyakitnya, tidak peduli miskin atau kaya. Pemerintah membayar RS 1.204 baht (sekitar Rp 240.000)/orang/tahun sesuai jumlah orang yang mendaftar ke RS itu tanpa memperhatikan jumlah yang sakit. Cara pembayaran ini disebut kapitasi. Dokter di RS bekerja purnawaktu (tidak boleh berpraktik di berbagai RS) sehingga tiap saat pasien bisa menemuinya. Inilah sistem kebijakan kesehatan yang sehat menurut kacamata rakyat.
Di Malaysia sistemnya sedikit berbeda. Dokter di RS pemerintah juga bekerja purnawaktu, tidak boleh praktik pribadi, baik di RS yang sama maupun swasta sehingga dokter selalu tersedia tiap saat. Namun berbeda dengan di Thailand, seluruh biaya RS dan gaji dokter dibiayai dari anggaran Departemen Kesehatan Malaysia. Dokter mendapat gaji layak, tidak besar, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang dokter, mencicil rumah dan mobil. Tiap pasien yang memerlukan perawatan di RS pemerintah hanya membayar 3 RM (tiga ringgit) sehari (setara dengan Rp 6.500). Jumlah yang harus dibayar pasien tidak tergantung jenis pelayanan yang diterimanya: ICU, operasi, obat-obatan; semua sudah termasuk. Kualitas pelayanannya baik, jauh lebih baik dari pelayanan RS pemerintah di Indonesia dan tidak banyak beda dengan pelayanan RS swasta di sana.
Bagaimana di RS swasta? Di RS swasta ada tarif untuk tiap jenis pelayanan (istilah teknisnya, tarif fee for service). Namun pasien di RS swasta juga tidak harus kecewa karena dokternya sedang praktik di RS lain atau biaya terlalu mahal. Dokter di RS swasta juga bekerja purnawaktu, jadi selalu tersedia bagi pasien yang membutuhkan.
Ikatan Dokter Malaysia bersama Departemen Kesehatan Malaysia membuat daftar tarif maksimum. Dengan demikian, dokter dan RS swasta tidak seenaknya menetapkan tarif. Tidak ada beda jasa dokter di kelas III dan kelas VIP, seperti terjadi di Indonesia. Biaya operasi jantung di Malaysia jauh lebih murah dari Indonesia, baik di RS pemerintah maupun swasta karena ada batas tarif. Biaya operasi jantung di Kuala Lumpur sekitar Rp 40-50 juta (rata-rata 22.000 RM), sedangkan di RS lain sekitar Rp 60 juta. Di Jakarta, untuk bedah jantung harus membayar Rp 150 juta. Akan tetapi, penduduk Malaysia yang perlu operasi jantung di RS tersebut hanya membayar 10 RM sehari perawatan. Ini juga contoh sistem pelayanan RS yang sehat bagi rakyat.
Perlu bedah radikal
Pelayanan di RS kita, swasta maupun pemerintah, lemah dalam mengutamakan kepentingan pasien. Amat sedikit dokter bekerja purnawaktu, baik di RS pemerintah (meski berstatus PNS tetap di situ) maupun swasta.
Sebagian besar dokter bekerja serba sambilan di tiap RS sehingga pelayanan kepada pasien tidak memuaskan. Ini terkait dengan sistem pendidikan dokter, penempatan dokter, penggajian dokter, dan lemahnya pengaturan pemerintah dalam melindungi pasien. Karena alasan gaji tidak memadai, dokter melayani pasien swasta di berbagai RS. Pasien tidak mendapat perlindungan memadai, dokter dan RS dapat menetapkan tarif sendiri. Tidak ada tarif standar. Anehnya, untuk listrik dan telepon yang tidak membahayakan jiwa dan tidak dibutuhkan seluruh penduduk, ditetapkan pemerintah. Tarif pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seluruh penduduk tidak diatur.
Pada era reformasi, pemerintah justru mengubah rumah sakitnya menjadi BUMN. Akibatnya, tarifnya kian mahal. Sementara itu, semakin banyak orang terkena PHK dan menjadi miskin. Harga obat dan bahan medis juga tidak dikontrol. Beban rakyat kian berat. Padahal, sistem jaminan kesehatan belum tersedia bagi semua.
Program bantuan biaya kesehatan bagi penduduk miskin amat tidak memadai. Bila dalam APBN ada subsidi BBM dan listrik, tidak ada mata anggaran subsidi pelayanan RS. Kebijakan reformasi kesehatan lebih mengutamakan kepentingan para pelaksana daripada rakyat banyak. Jangan heran bila semakin banyak rakyat frustrasi dan bermain hakim sendiri.
Banyak kritik tentang kepemimpinan dokter. Mungkin perlu dicoba agar pimpinan instansi kesehatan bukan dokter yang lebih banyak memikirkan kepentingan praktik. Benar tidaknya sinyalemen ini harus diuji. Yang jelas, kritik Presiden patut ditanggapi serius.