Perusahaan Tambang Minta Pengecualian
Rabu, 15 April 2015 03:56 David Dwiarto JAKARTA. Pengusaha tambang keberatan dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan letter of credit (L/C) dalam transaksi ekspor. Karena itu, pengusaha minta pemerintah memberi pengecualian, bukan cuma penangguhan sampai habis kontrak.
Nico Kanter, Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk mengatakan, selama ini dalam kegiatan ekspor produk nickel matte menggunakan mekanisme pembayaran telegraphic transfer (TT). Vale menginginkan pengecualian penggunaan L/C lantaran selama ini sudah mematuhi instruksi pemerintah yakni melaporkan devisa hasil ekspor.
"Kami kan semua patuh aturan, pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang ada disini dan PEB di negara konsumen sudah dikonfirmasi, bahkan sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal harga jualnya," kata Nico, Selasa (7/4).
Vale mengklaim sudah disiplin melaporkan devisa hasil ekspor sehingga sudah sesuai dengan tujuan pemerintah yakni menertibkan ekspor. Dengan begitu, Vale merasa tidak perlu lagi menggunakan L/C. Selain itu, kontrak yang dilakukan Vale dengan konsumen nickel matte sifatnya by take all. Artinya, induk usaha Vale di Kanada dan Jepang, maupun Sumitomo Corporation akan membeli seluruh produksi dari perusahaan.
Sekarang ini, manajemen Vale tengah berupaya meminta penjelasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan mengajukan permohonan agar tidak dikenakan kewajiban penggunaan L/C. "Kami inginnya ada pengecualian, bukan penangguhan," kata Nico.
Hal senada disampaikan, Daisy Primayanti, Juru Bicara PT freeport Indonesia mengatakan, telah melaporkan devisa hasil ekspor (DHE) kepada Bank Indonesia secara rutin. Pelaporan hasil penjualan tembaga olahan tanpa pemurnian tersebut juga dibarengi dengan pelaporan pemberitahuan ekspor barang (PEB) ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. "Kami mengajukan (pengecualian) karena selama ini secara teratur mematuhi kewajiban pelaporan DHE ke Bank Indonesia," kata Daisy.
Menurut Daisy, hal yang dilakukan oleh freeport sejatinya sudah cukup dalam menjaga akurasi data maupun transparansinya. "Kami pun mendukung semangat pemerintah dalam mewujudkan transparansi dan akurasi informasi ekspor," imbuhnya
Selain Vale dan freeport, pengusaha tambang batubara juga menolak memakai LC. Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) bilang, untuk tahun depan, pelaksanaan kewajiban L/C khususnya untuk pengusaha PKP2B generasi satu akan menjadi persoalan.
Pasalnya, untuk menggunakan L/C memerlukan biaya yang harus ditanggung pemerintah. "Pakai L/C itu menambah cost yang dihindari pembeli. Konsumen pasti akan membebankan kepada perusahaan, lalu perusahaan tentu membebankan ke pemerintah," kata Supriatna
Ia menjelaskan hal ini berdasarkan klausul dalam draf kontrak PKP2B generasi satu. Di sana disebutkan, seluruh biaya tambahan yang tidak tercantum dalam kontrak akan menjadi beban yang ditanggung oleh pemerintah.
Sujatmiko, Direktur Pembinaan dan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, Peraturan Menteri Perdagangan No 26/2015 hanya memberikan penangguhan ke perusahaan untuk menyelesaikan kontrak hingga jangka waktu berakhir. Selanjutnya ketika kontrak berakhir, perusahaan harus mau menggunakan L/C untuk setiap kegiatan ekspornya. "Perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia harus mampu meyakinkan buyer- nya untuk beralih ke L/C," kata Sujatmiko.
Muhammad Yazid
Sumber : Kontan, 08 April 2015
結果 (
日本語) 1:
[コピー]コピーしました!
Perusahaan Tambang Minta PengecualianRabu, 15 April 2015 03:56 David Dwiarto JAKARTA. Pengusaha tambang keberatan dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan letter of credit (L/C) dalam transaksi ekspor. Karena itu, pengusaha minta pemerintah memberi pengecualian, bukan cuma penangguhan sampai habis kontrak. Nico Kanter, Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk mengatakan, selama ini dalam kegiatan ekspor produk nickel matte menggunakan mekanisme pembayaran telegraphic transfer (TT). Vale menginginkan pengecualian penggunaan L/C lantaran selama ini sudah mematuhi instruksi pemerintah yakni melaporkan devisa hasil ekspor. "Kami kan semua patuh aturan, pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang ada disini dan PEB di negara konsumen sudah dikonfirmasi, bahkan sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal harga jualnya," kata Nico, Selasa (7/4). Vale mengklaim sudah disiplin melaporkan devisa hasil ekspor sehingga sudah sesuai dengan tujuan pemerintah yakni menertibkan ekspor. Dengan begitu, Vale merasa tidak perlu lagi menggunakan L/C. Selain itu, kontrak yang dilakukan Vale dengan konsumen nickel matte sifatnya by take all. Artinya, induk usaha Vale di Kanada dan Jepang, maupun Sumitomo Corporation akan membeli seluruh produksi dari perusahaan. Sekarang ini, manajemen Vale tengah berupaya meminta penjelasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan mengajukan permohonan agar tidak dikenakan kewajiban penggunaan L/C. "Kami inginnya ada pengecualian, bukan penangguhan," kata Nico. Hal senada disampaikan, Daisy Primayanti, Juru Bicara PT freeport Indonesia mengatakan, telah melaporkan devisa hasil ekspor (DHE) kepada Bank Indonesia secara rutin. Pelaporan hasil penjualan tembaga olahan tanpa pemurnian tersebut juga dibarengi dengan pelaporan pemberitahuan ekspor barang (PEB) ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. "Kami mengajukan (pengecualian) karena selama ini secara teratur mematuhi kewajiban pelaporan DHE ke Bank Indonesia," kata Daisy. Menurut Daisy, hal yang dilakukan oleh freeport sejatinya sudah cukup dalam menjaga akurasi data maupun transparansinya. "Kami pun mendukung semangat pemerintah dalam mewujudkan transparansi dan akurasi informasi ekspor," imbuhnya Selain Vale dan freeport, pengusaha tambang batubara juga menolak memakai LC. Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) bilang, untuk tahun depan, pelaksanaan kewajiban L/C khususnya untuk pengusaha PKP2B generasi satu akan menjadi persoalan. Pasalnya, untuk menggunakan L/C memerlukan biaya yang harus ditanggung pemerintah. "Pakai L/C itu menambah cost yang dihindari pembeli. Konsumen pasti akan membebankan kepada perusahaan, lalu perusahaan tentu membebankan ke pemerintah," kata Supriatna Ia menjelaskan hal ini berdasarkan klausul dalam draf kontrak PKP2B generasi satu. Di sana disebutkan, seluruh biaya tambahan yang tidak tercantum dalam kontrak akan menjadi beban yang ditanggung oleh pemerintah. Sujatmiko, Direktur Pembinaan dan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, Peraturan Menteri Perdagangan No 26/2015 hanya memberikan penangguhan ke perusahaan untuk menyelesaikan kontrak hingga jangka waktu berakhir. Selanjutnya ketika kontrak berakhir, perusahaan harus mau menggunakan L/C untuk setiap kegiatan ekspornya. "Perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia harus mampu meyakinkan buyer- nya untuk beralih ke L/C," kata Sujatmiko. Muhammad YazidSumber : Kontan, 08 April 2015
翻訳されて、しばらくお待ちください..
