Kikuchi Room, Hotel Imperial
Rabu pagi 2 Juli, pukul 7:00 pagi waktu Tokyo, jawaban telex dari Menteri Widjojo Nitisastro. diterima oleh Minister Councellor Leon Sumantri dan langsung diteruskan kepada saya, Isinya: "… bahwa Bapak Presiden berpesan dan memberi petunjuk bahwa kita tidak setuju untuk ikut memikul beban 10% pinjaman tersebut, k arena hal tersebut tidak sesuai dengan janji Jepang sebelumnya yang bersedia memberikan pinjaman 25%, yaitu seluruh pinjaman yang akan disalurkan melalui Pemerintah Indonesia"
Reaksi pertama saya waktu itu adalah langsung terbang ke Ottawa dari Tokyo agar secara pribadi dapat menjelaskan masalahnya kepada Presiden Soeharto. Niat ini tidak dapat dilaksanakan, karena berbagai persoalan praktis.
Persoalan khas Jepang yang dihadapi adalah, bahwa apabila momentum yang baik dalam kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang ini berlalu tanpa penyelesaian MA, maka masalahnya mungkin akan tertunda beberapa minggu lagi. Dalam pada itu, pada bulan Agustus biasanya diadakan pergeseran rutin di antara pejabat-pejabat teras Jepang, yang berakibat cukup luas. Sehingga ada kemungkinan penanganan Proyek Asahan akan beralih ke tangan pejabat-pejabat lain. Pejabat-pejabat baru ini niscaya akan memerlukan waktu untuk mempelajari segala sesuatu sejak dari semula lagi, khususnya dengan gagasan-gagasan baru yang ditampilkan oleh tiga serangkai Hashimoto, Omi dan Toyoshima.
Dalam pada itu keadaan ekonomi Jepang mungkin akan lebih memburuk lagi, sehingga gairah untuk mengambil keputusan mungkin akan hilang sama sekali. Masalah ini sulit rasanya untuk dijelaskan per telex dan hanya dapat diutarakan dengan gamblang melalui uraian lisan.
Kepada Duta Besar Yusuf Ramli, hal ini telah saya uraikan. Namun dia berpendapat, bahwa keputusan. yang telah diterima melalui kawat sudah jelas dan tegas. Karenanya dia tidak melihat jalan lain, kecuali menyampaikannya kepada MITI, dan menunggu reaksinya.
Sewaktu keputusan melalui telex ini disampaikan kepada Direktur Jenderal Hashimoto, jawaban yang diberikan adalah, bahwa Jepang tetap bertahan pada usulnya untuk meminta agar Pemerintah Republik Indonesia tetap menanggung 10% modal pinjaman dari sumber sendiri.
Bagi kami tidak ada jalan lain dari pada menyampaikan jawaban pihak Jepang ini segera kepada Presiden Soeharto dan kepada Menteri Widjojo Nitisastro.
Waktu memang telah mulai mendesak, sebab apabila MA hendak ditanda-tangani 7 Juli berikutnya, masalahnya harus sudah dapat diputuskan dan disetujui Kabinet Jepang dalam sidangnya pada hari Jumat 4 Juli.
Kami memutuskan untuk langsung menelepon Menteri Widjojo Nitisastro dari KBRI Tokyo guna menjelaskan seluruh masalah secara panjang lebar. Waktu itu jam 14:00 waktu Tokyo, berarti jam 01:00 tengah malam tanggal 1 Juli waktu Ottawa.
Sudah barang tentu Menteri Widjojo Nitisastro sedang tidur setelah terbang lebih dari sepuluh jam ke Ottawa. Namun Menteri Widjojo rupanya bersedia dibangunkan. Dan kepadanya saya jelaskan seluruh permasalahan. Menteri Widjojo Nitisastro tidak dapat memberikan komentar banyak, tetapi meminta saya segera menelepon Menteri Sudharmono pula.
Hubungan langsung dapat diperoleh dengan Menteri Sudharmono. Saya dinasehatkan agar mengirimkan telex langsung kepada Presiden Soeharto dan menjelaskan sekali lagi secara lengkap seluruh masalah. Menteri Sudharmono berjanji akan menghadap Presiden Soeharto bersama Menteri Widjojo Nitisastro pada esok harinya, jam 9:00 pagi waktu Ottawa, 2 J uli. Pada saat itu waktu di Tokyo kurang lebih jam 7:00 malam, 3 J uli, sedangkan esok harinya akan diadakan sidang kabinet.
Menurut perhitungan, telex saya akan sampai di Ottawa pada jam 6:00 pagi waktu Ottawa, tanggal 2 Juli. Rencana adalah menelepon Ottawa kembali pada jam 22:00 malam waktu Tokyo, 3 Juli.
Tidak hanya semua yang ikut dalam delegasi perundingan dan KBRI Tokyo gelisah, tetapi juga pihak MITI, khususnya Omi-san yang sengaja datang ke kamar saya di Hotel Imperial pada malam itu. Dia menyampaikan, bahwa dia akan menunggu di kantor dan kantor MITI akan dibuka semalam suntuk.
Omi-san menyampaikan puIa akan mempergunakan suatu shortcut untuk penyiapan berkas sebelum sidang kabinet Jepang.
Biasanya, menurut prosedur, kata sepakat terdapat pada tingkat direktur terlebih dahulu, kemudian pada tingkat direktur jenderal, akhirnya. pada tingkat vice-minister - baru dapat diajukan ke sidang kabinet. Kata sepakat vice-minister disetujui untuk dilangkahi, suatu tindakan yang tidak lazim dalam Pemerintahan Jepang.
Seluruh delegasi kecil Indonesia yang tersusun atas saya sendiri, Ir. Siahaan, Ir. Situmorang, Drs. Sutanto, Syakur SH dan Sutoyo SH, beserta saudara Leon Sumantri, menunggu di kamar No.1116 yang biasa saya pakai di Hotel Imperial. Berganti-ganti sekelompok-sekelompok membeli makan ke luar, sementara yang lain stand-by untuk menampung berita.
Kami sedang bersiap-siap menghubungi Ottawa lagi per telepon, ketika tepat pada jam 22:00 telepon berbunyi. Rupanya Menteri Widjojo pun sedang berusaha mencari hubungan segera sesudah menghadap Presiden Soeharto, untuk menyampaikan keputusan persetujuan Presiden Soeharto. Namun persetujuan tersebut disertai syarat, antara lain, a gar bila terdapat kenaikan harga, hal ini tidak boleh membawa komitmen baru bagi Indonesia.
Pada jam 1:00 tengah malam, 4 Juli 1975, saya bersama dengan Ir. Siahaan dan Leon Sumantri berkunjung ke kantor MITI. Hashimoto, Omi dan Toyoshima rupanya selalu menunggu Kami. Pesan pun kami sampaikan, berikut syarat tambahan dari Presiden Soeharto.
Dua langkah berikut harus pula diusahakan secara sekaligus dalam beberapa jam sebelum sidang kabinet Jumat pagi dimulai.
Langkah pertama, mengusahakan konsensus formal antara para direktur dan para direktur-jenderal yang berkepentingan di lingkungan instansi-instansi Jepang.
Langkah kedua, mencari jalan keluar guna menampung persyaratan Presiden Soeharto.
Yang pertama adalah tugas pihak Jepang, terutama Omi-san. Yang kedua perlu dibahas bersama lagi.
Pada dinihari, hari Jumat itu, akhirnya tercapai kata sepakat atas suatu way-out berupa "side-letter" dari saya ke Menteri MITI, Komoto, yang disamping menyatakan persetujuan atas usul Pemerintah Jepang, pun membuka jalan penyelesaian permasalahan kenaikan harga di kemudian hari dengan ucapan yang maknanya termaktub dalam kalimat :
each party will consult each other for the smooth implementation of the project based on the spirit of mutual understanding and mutual interest.
Kalimat yang tidak begitu panjang, tetapi banyak mengandung arti dan menjamin suasana musyawarah dan kerja-sama yang baik. Satu cara penyelesaian masalah khas Timur, namun bukan pula cara yang asing dalam hubungan usaha dengan Jepang.
Surat tersebut merupakan surat resmi Pemerintah Indonesia ke Pemerintah Jepang. Oleh karena itu harus dibuat di atas kertas resmi yang hanya tersedia di KBRI –sedangkan kantor KBRI tengah malam tertutup rapat.
Dengan sedikit berakrobat, sopir Jepang-nya Leon Sumantri, bernama Yokoseki, memanjat pagar KBRI untuk membuka pintu. Dan hasil pengetikan dari juru ketik amatir, Atjeng, pembantu Leon Sumantri, dapat mengatasi masalah yang dihadapi itu. Pada jam 4.00 pagi surat pun selesai untuk dipelajari MITI, sebelum ditanda-tangani.
Pada jam 5:00 pagi dua pegawai MITI datang ke kamar saya di hotel dengan pesan persetujuan –dan surat saya tanda tangani.
Mulai saat itu pihak Indonesia tidak dapat berbuat banyak selain menunggu.
Namun Omi-san masih bekerja keras dalam usaha mendapatkan konsensus menurut prosedur. Sebagian besar hal ini diperolehnya dengan menelepon sendiri pejabat yang berwenang satu persatu semalam suntuk hingga subuh.
Siang hari Jumat, menjelang tengah hari, Omi-san menelepon lagi, menyampaikan berita persetujuan Kabinet Jepang bagi pembiayaan proyek Asahan.
Hari itu juga, sampai Minggu malam, semua berkas disiapkan untuk upacara penanda-tanganan Master Agreement pada 7 Juli 1975 di Kikuchi Room-Hotel Imperial, tepat pada jam 8:00 pagi waktu Tokyo.
Syukur, waktu tegang selama satu bulan sejak 3 Juni hingga 4 Juli dinihari, tidak sia-sia bagi pihak Indonesia maupun pihak Jepang.
Kikuchi Room, Hotel Imperial
Rabu pagi 2 Juli, pukul 7:00 pagi waktu Tokyo, jawaban telex dari Menteri Widjojo Nitisastro. diterima oleh Minister Councellor Leon Sumantri dan langsung diteruskan kepada saya, Isinya: "… bahwa Bapak Presiden berpesan dan memberi petunjuk bahwa kita tidak setuju untuk ikut memikul beban 10% pinjaman tersebut, k arena hal tersebut tidak sesuai dengan janji Jepang sebelumnya yang bersedia memberikan pinjaman 25%, yaitu seluruh pinjaman yang akan disalurkan melalui Pemerintah Indonesia"
Reaksi pertama saya waktu itu adalah langsung terbang ke Ottawa dari Tokyo agar secara pribadi dapat menjelaskan masalahnya kepada Presiden Soeharto. Niat ini tidak dapat dilaksanakan, karena berbagai persoalan praktis.
Persoalan khas Jepang yang dihadapi adalah, bahwa apabila momentum yang baik dalam kunjungan Presiden Soeharto ke Jepang ini berlalu tanpa penyelesaian MA, maka masalahnya mungkin akan tertunda beberapa minggu lagi. Dalam pada itu, pada bulan Agustus biasanya diadakan pergeseran rutin di antara pejabat-pejabat teras Jepang, yang berakibat cukup luas. Sehingga ada kemungkinan penanganan Proyek Asahan akan beralih ke tangan pejabat-pejabat lain. Pejabat-pejabat baru ini niscaya akan memerlukan waktu untuk mempelajari segala sesuatu sejak dari semula lagi, khususnya dengan gagasan-gagasan baru yang ditampilkan oleh tiga serangkai Hashimoto, Omi dan Toyoshima.
Dalam pada itu keadaan ekonomi Jepang mungkin akan lebih memburuk lagi, sehingga gairah untuk mengambil keputusan mungkin akan hilang sama sekali. Masalah ini sulit rasanya untuk dijelaskan per telex dan hanya dapat diutarakan dengan gamblang melalui uraian lisan.
Kepada Duta Besar Yusuf Ramli, hal ini telah saya uraikan. Namun dia berpendapat, bahwa keputusan. yang telah diterima melalui kawat sudah jelas dan tegas. Karenanya dia tidak melihat jalan lain, kecuali menyampaikannya kepada MITI, dan menunggu reaksinya.
Sewaktu keputusan melalui telex ini disampaikan kepada Direktur Jenderal Hashimoto, jawaban yang diberikan adalah, bahwa Jepang tetap bertahan pada usulnya untuk meminta agar Pemerintah Republik Indonesia tetap menanggung 10% modal pinjaman dari sumber sendiri.
Bagi kami tidak ada jalan lain dari pada menyampaikan jawaban pihak Jepang ini segera kepada Presiden Soeharto dan kepada Menteri Widjojo Nitisastro.
Waktu memang telah mulai mendesak, sebab apabila MA hendak ditanda-tangani 7 Juli berikutnya, masalahnya harus sudah dapat diputuskan dan disetujui Kabinet Jepang dalam sidangnya pada hari Jumat 4 Juli.
Kami memutuskan untuk langsung menelepon Menteri Widjojo Nitisastro dari KBRI Tokyo guna menjelaskan seluruh masalah secara panjang lebar. Waktu itu jam 14:00 waktu Tokyo, berarti jam 01:00 tengah malam tanggal 1 Juli waktu Ottawa.
Sudah barang tentu Menteri Widjojo Nitisastro sedang tidur setelah terbang lebih dari sepuluh jam ke Ottawa. Namun Menteri Widjojo rupanya bersedia dibangunkan. Dan kepadanya saya jelaskan seluruh permasalahan. Menteri Widjojo Nitisastro tidak dapat memberikan komentar banyak, tetapi meminta saya segera menelepon Menteri Sudharmono pula.
Hubungan langsung dapat diperoleh dengan Menteri Sudharmono. Saya dinasehatkan agar mengirimkan telex langsung kepada Presiden Soeharto dan menjelaskan sekali lagi secara lengkap seluruh masalah. Menteri Sudharmono berjanji akan menghadap Presiden Soeharto bersama Menteri Widjojo Nitisastro pada esok harinya, jam 9:00 pagi waktu Ottawa, 2 J uli. Pada saat itu waktu di Tokyo kurang lebih jam 7:00 malam, 3 J uli, sedangkan esok harinya akan diadakan sidang kabinet.
Menurut perhitungan, telex saya akan sampai di Ottawa pada jam 6:00 pagi waktu Ottawa, tanggal 2 Juli. Rencana adalah menelepon Ottawa kembali pada jam 22:00 malam waktu Tokyo, 3 Juli.
Tidak hanya semua yang ikut dalam delegasi perundingan dan KBRI Tokyo gelisah, tetapi juga pihak MITI, khususnya Omi-san yang sengaja datang ke kamar saya di Hotel Imperial pada malam itu. Dia menyampaikan, bahwa dia akan menunggu di kantor dan kantor MITI akan dibuka semalam suntuk.
Omi-san menyampaikan puIa akan mempergunakan suatu shortcut untuk penyiapan berkas sebelum sidang kabinet Jepang.
Biasanya, menurut prosedur, kata sepakat terdapat pada tingkat direktur terlebih dahulu, kemudian pada tingkat direktur jenderal, akhirnya. pada tingkat vice-minister - baru dapat diajukan ke sidang kabinet. Kata sepakat vice-minister disetujui untuk dilangkahi, suatu tindakan yang tidak lazim dalam Pemerintahan Jepang.
Seluruh delegasi kecil Indonesia yang tersusun atas saya sendiri, Ir. Siahaan, Ir. Situmorang, Drs. Sutanto, Syakur SH dan Sutoyo SH, beserta saudara Leon Sumantri, menunggu di kamar No.1116 yang biasa saya pakai di Hotel Imperial. Berganti-ganti sekelompok-sekelompok membeli makan ke luar, sementara yang lain stand-by untuk menampung berita.
Kami sedang bersiap-siap menghubungi Ottawa lagi per telepon, ketika tepat pada jam 22:00 telepon berbunyi. Rupanya Menteri Widjojo pun sedang berusaha mencari hubungan segera sesudah menghadap Presiden Soeharto, untuk menyampaikan keputusan persetujuan Presiden Soeharto. Namun persetujuan tersebut disertai syarat, antara lain, a gar bila terdapat kenaikan harga, hal ini tidak boleh membawa komitmen baru bagi Indonesia.
Pada jam 1:00 tengah malam, 4 Juli 1975, saya bersama dengan Ir. Siahaan dan Leon Sumantri berkunjung ke kantor MITI. Hashimoto, Omi dan Toyoshima rupanya selalu menunggu Kami. Pesan pun kami sampaikan, berikut syarat tambahan dari Presiden Soeharto.
Dua langkah berikut harus pula diusahakan secara sekaligus dalam beberapa jam sebelum sidang kabinet Jumat pagi dimulai.
Langkah pertama, mengusahakan konsensus formal antara para direktur dan para direktur-jenderal yang berkepentingan di lingkungan instansi-instansi Jepang.
Langkah kedua, mencari jalan keluar guna menampung persyaratan Presiden Soeharto.
Yang pertama adalah tugas pihak Jepang, terutama Omi-san. Yang kedua perlu dibahas bersama lagi.
Pada dinihari, hari Jumat itu, akhirnya tercapai kata sepakat atas suatu way-out berupa "side-letter" dari saya ke Menteri MITI, Komoto, yang disamping menyatakan persetujuan atas usul Pemerintah Jepang, pun membuka jalan penyelesaian permasalahan kenaikan harga di kemudian hari dengan ucapan yang maknanya termaktub dalam kalimat :
each party will consult each other for the smooth implementation of the project based on the spirit of mutual understanding and mutual interest.
Kalimat yang tidak begitu panjang, tetapi banyak mengandung arti dan menjamin suasana musyawarah dan kerja-sama yang baik. Satu cara penyelesaian masalah khas Timur, namun bukan pula cara yang asing dalam hubungan usaha dengan Jepang.
Surat tersebut merupakan surat resmi Pemerintah Indonesia ke Pemerintah Jepang. Oleh karena itu harus dibuat di atas kertas resmi yang hanya tersedia di KBRI –sedangkan kantor KBRI tengah malam tertutup rapat.
Dengan sedikit berakrobat, sopir Jepang-nya Leon Sumantri, bernama Yokoseki, memanjat pagar KBRI untuk membuka pintu. Dan hasil pengetikan dari juru ketik amatir, Atjeng, pembantu Leon Sumantri, dapat mengatasi masalah yang dihadapi itu. Pada jam 4.00 pagi surat pun selesai untuk dipelajari MITI, sebelum ditanda-tangani.
Pada jam 5:00 pagi dua pegawai MITI datang ke kamar saya di hotel dengan pesan persetujuan –dan surat saya tanda tangani.
Mulai saat itu pihak Indonesia tidak dapat berbuat banyak selain menunggu.
Namun Omi-san masih bekerja keras dalam usaha mendapatkan konsensus menurut prosedur. Sebagian besar hal ini diperolehnya dengan menelepon sendiri pejabat yang berwenang satu persatu semalam suntuk hingga subuh.
Siang hari Jumat, menjelang tengah hari, Omi-san menelepon lagi, menyampaikan berita persetujuan Kabinet Jepang bagi pembiayaan proyek Asahan.
Hari itu juga, sampai Minggu malam, semua berkas disiapkan untuk upacara penanda-tanganan Master Agreement pada 7 Juli 1975 di Kikuchi Room-Hotel Imperial, tepat pada jam 8:00 pagi waktu Tokyo.
Syukur, waktu tegang selama satu bulan sejak 3 Juni hingga 4 Juli dinihari, tidak sia-sia bagi pihak Indonesia maupun pihak Jepang.
翻訳されて、しばらくお待ちください..
