Peter Guillam segera menyeka tangannya yang basah karena air cucian piring menggunakan lap dapur ketika dia menyadari suaminya berdiri kaku bertopang pinggir meja makan mereka. Sebelah tangan memegang perut bawahnya, nafas tidak beraturan terdengar dari arahnya pula. Membuat Peter semakin khawatir.
Hembusan nafas panjang keluar dari mulut Hector. "Tidak apa-apa. Sakit sedikit." Pria yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran itu meregangkan kepalanya keatas sampai mata berhadapan lurus sama lampu ruang makan mereka yang tergantung diatas.
"Braxton Hicks, dear?" Peter menghampirinya dari belakang, melingkarkan tangannya di perut sang suami. Mengelusnya dengan harapan bisa membuat rasa tidak nyaman Hector berkurang. "Semakin sering terjadi mengingat ini adalah minggu terakhirmu, huh?" Dia merujuk kepada kehamilan Hector yang sudah berumur 40 minggu, minggu terakhir kehamilan. Tinggal menunggu kelahirannya, yang diperkirakan oleh dokter sekitar tanggal 20 ini.
Sepanjang itu Hector terus-terusan merasakan kontraksi bohongan alias Braxton Hicks. Rasanya jauh lebih intens dari biasanya, kata Hector. Prudy yang kepalanya sudah berputar ke posisi bawah terasa semakin mendesak ke mulut uterus, mengkonfirm waktu kelahirannya semakin dekat. Bikin Hector jantungan lebih parah.
"Shit, that's the worse one yet. Fuck... This is not fun anymore." umpat Hector, melemaskan punggungnya ke badan Peter.
Peter menempatkan kepalanya di samping kepala Hector, miring sedikit untuk mencium pinggir bibirnya. "Kamu mau rebahan dulu? Duduk di sofa, sana. Aku akan membuatkanmu teh."
Sebelum Hector bisa menjawabnya, Peter sudah menuntunnya duluan menuju sofa ruang tengah mereka. Pria mata-mata Inggris itu meletakan sebuah bantal kecil dibelakang punggung Hector sebelum duduk, supaya Hector bisa duduk lebih nyaman tanpa rasa sakit berlebihan di punggung. Peter juga menyuruh Hector meluruskan kedua kakinya ke atas meja kopi depan mereka, yah membantu Hector sedikit mencari posisi yang lebih nyaman. Sepertinya semua posisi duduk sekarang ini terasa menyakitkan sekali bagi Hector.
"Trims." Hector mendesah lagi. Telapak tangan beristirahat diatas puncak perut hamilnya, kaki Prudy berada diatas. Dia bisa merasakannya. Kalau ditekan sedikit, kaki Prudy bakalan mengenai tulang rusuknya. Peter pernah tidak sengaja melakukan itu dan ia mendapatkan bogem mentah dari sang suami.
Peter mengusap lengan Hector. "Yes of course. Aku mau membuat teh dulu, ya. Herbal?"
"Nggak. Masih ada PG Tips biasa?" Hector menawar.
"Aku rasa ada. Tinggal sekantong."
"Make me that."
"Right."
Peter langsung beranjak dari tempat Hector kembali ke dalam dapur. Menyeduh teko teh dengan air keran dan memanaskannya di atas kompor, meanwhile dia mencari kantong teh yang diinginkan oleh Hector. Peter jadi lebih khawatiran beberapa hari ini, selalu was-was tiap kali pergi bekerja meninggalkan Hector dirumah sendirian... Bagaimana kalau Hector betul-betul mengalami kontraksi melahirkan terus Peter tak ada ditempat untuk membantunya? Gimana kalau terjadi apa-apa sama Hector dan Prudy? Karena pemikiran negatif inilah Peter memilih mengerjakan pekerjaannya di rumah, toh Smiley juga membiarkannya setelah beberapa kali memohon.
Tentunya pakai Smiley mengatai Peter sebagai 'Calon ayah bodoh' terlebih dahulu. Hector ketawa histeris sewaktu mendengar cerita Peter yang itu, dia juga ikut-ikutan mengatai Peter 'Calon ayah bodoh' akibat tingkah overprotektifnya. Peter mah terima aja dikatain begitu sama senior dan suaminya sendiri, alias gak bisa ngelak. Dia juga gak ngerti kenapa dia protektif sekali kepada keluarga kecilnya...
Tak lama kemudian Peter kembali dengan secangkir teh ditangannya. Hector mengucapkan terima kasih kepada suaminya lalu meminumnya perlahan-lahan. Peter memperhatikannya seksama, dia memposisikan dirinya duduk pas disamping Hector. "Feel any better?" Tanya Peter, pemilik rambut pirang berwarna soft layaknya jagung.
Hector mendecakan lidahnya dari butir air teh yang menitik jatuh dari pinggir bibirnya, "Sama sekali tidak. Prudy memang jadi tenang sekarang, tapi--hhngh, the godamn Braxton Hicks is still there--- ugh." teh buatan Peter terasa pas seperti biasanya.
"Poor dear. I wish I could do something to help you..." Kata Peter. Jari tangan menelusuri lekukan perut Hector, menemukan kulit disekitarnya terasa keras. Berbeda dari biasanya.
"You've done enough," Hector membalas. Memang benar, Peter sudah melakukan banyak hal baginya. "Kamu tidak bisa menolongku lebih dari ini. Well, kecuali kamu bisa membawakanku obat bius or pain killer, I'll be so grateful."
"Gak bisa membantumu dalam soal itu, dear. Tenang saja, ya?" Kata Peter. Entah sebenarnya dia mau menenangkan Hector atau dirinya sendiri, dia juga cemas melihat Hector kesakitan.
Aneh memang. Dia merasa takut tapi sekaligus senang, mereka akan segera bertemu anak pertama mereka; anak yang tidak tertulis sama sekali di dalam jadwal kehidupan Peter dan Hector. Yah, memang ada obrolan soal memiliki anak setelah mereka secara legal menikah, tapi gak menyangka mereka akan diberikan begitu cepat. Semua karena satu hari penuh menghabiskan waktu di kampung halaman Peter di Perancis, godamn France people with their wine and beautiful atmosphere. Hector habis dijamah Peter luar-dalam tanpa terkecuali waktu itu...
....Yang kemudian menghasilkan Prudy.
Ketika mereka berpindah ke kamar tidur, Peter sedang membaca novel Perancis tua saat wajah Hector mengernyit kesakitan dalam tidurnya. Peter menoleh dan menaruh bukunya ke samping meja lampu, cepat dia menyentuh pundak Hector.
"Hector? Hector, kamu tak apa?" Katanya, makin cemas sewaktu mendengar Hector mengerang kecil dengan kedua mata masih tertutup.
Akhirnya beberapa menit kemudian si pria yang punya seringai menyeramkan itu terbangun. Nafasnya memburu pendek, pandangan mata capek ia berikan ke Peter; "Ungh, sakit..." Dia hanya mengucapkan itu sebelum berbalik posisi tidur membelakangi Peter sambil memegang perut bawahnya.
Peter menopang setengah badan atasnya menggunakan sikut untuk melihat wajah Hector lebih jelas. "Jarak Interval berapa menit?" Dia menduga Hector sudah tidak mengalami Braxton Hicks lagi, melainkan kontraksi beneran. Tapi masih terlalu dini buat mengetahuinya secara pasti.
"15--- menit," suara terengah Hector mulai menurun kembali. Agaknya tenang tapi tetap sakit. "Semakin cepat. Mungkin hari ini adalah harinya..." Hector sempat-sempatnya meraih jam tangannya di samping meja kecil yang mengapit kedua sisi tempat tidur mereka, jarum jam berhenti pas pada angka 22:15 malam.
Peter terdiam mendengar Hector bilang kalau Prudy bisa saja lahir hari ini. "...Your due date is 4 more days, Prudy... Seharusnya tidak lahir sekarang... Kan?" Peter pakai acara ketawa maksa pula saking cemasnya.
"But she is ready. Itu kan cuman perhitungan dokter saja, yang memutuskan kan boss kecil ini," Hector menepuk perutnya sekali. "Such an annoying little lady. Like her father." Dia grusuk sendiri mencari posisi enak buat tidur.
Peter cannot helped but laugh, Hector tetap saja bersikeras kalau bayi mereka adalah perempuan. Padahal dokter sudah memberitahu kalau mereka akan mendapatkan anak laki-laki...
"Shush. Udah gak apa-apa sekarang, kan? Tidurlah kembali, Hector." Ujar Peter sambil menarik selimut menutupi tubuh Hector lebih erat, sempat mengelus tengkuk leher Hector sebentar.
Hector menemukan dirinya lebih tenang dibawah sentuhan Peter. Peter selalu tahu bagaimana membuatnya lebih tenang, yah meski tidak membantu-bantu banget tapi seenggaknya lumayanlah daripada nggak. Rasa sakit di perutnya tidak berkurang, tapi cukup mild rasanya, sepertinya dia akan mencoba untuk tidur lagi...
Kalau sampai besok sakitnya tidak reda, Peter akan membawa Hector pergi ke rumah sakit. Seperti kata pasangannya barusan, dia tak memiliki kontrol atas waktu kelahiran bayi mereka. Dia bisa lahir kapan saja di minggu ini karena memang sudah waktunya dia keluar dari sana, mana ruang gerak Prudy sudah terbatas; bergerak sedikit saja akan mengenai sebagian organ dalam milik Hector.
Dan ternyata mereka tak perlu menunggu lebih lama.
Waktu menunjukkan pukul 03:45 dini hari saat Hector mengguncang lengan Guillam secara kasar. "Pe-Peter. Bangun, Peter. Dammit..." Suaranya terdengar desperate.
Segera Peter bangun dalam posisi siaga. Sekalinya dia membuka mata dalam posisi terkejut, semua rasa kantuk yang tersisa lenyap tanpa bekas. Kebiasaan yang tumbuh dari seringnya tugas lapangan saat masih jadi anak baru di MI6. Tidur bukanlah kenikmatan, tapi salah satu job desk pekerjaan.
"Kenapa, Hector?" Peter bertanya sambil mengusap matanya, memfokuskan pandangan.
"...aku berdarah."
Hector menaikan tangannya dari bawah selimut mereka, memperlihatkan telapak tangan kanan bersemu darah merah. Tidak banyak, berupa bercak tipis. Tapi itu cukup untuk membuat muka Peter kehilangan seluruh warnanya, pucat laksana tembok putih.
Selimut melayang jatuh ke lantai, Peter menyalakan lampu meja agar bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi lebih jelas. Ternyata benar, bagian selangkangan celana tidur Hector terdapat darah merembes disana. Wajah si pria yang kesakitan gak membantu Peter supaya jadi lebih tenang. Timbulnya darah membuat banyak spekulasi buruk, melihat dari wajah panik Hector, Peter tahu dia harus melakukan sesuatu. Tentu saja pilihan pergi ke rumah sakit adalah pilihan terbaik sekarang.
"Stay here! Aku akan mempersiapkan mobil dan yang lain. Just--- calm down."
Sekali lompat turun tempat tidur Peter menarik dressing-gown dari gantungan lemari, buru-buru memakainya sambil berjalan keluar kamar tidur mereka. Meninggalkan Hector yang gak sempat memakinya 'Well obviously I cannot go anywhere with this condition, right!?'. Selama Peter pergi, Hector mengerang tiap 10 menit sekali akibat tekanan sakit di perutnya. Oh, jadi Braxton Hicks yang kemarin bukan
Peter Guillam segera menyeka tangannya yang basah karena air cucian piring menggunakan lap dapur ketika dia menyadari suaminya berdiri kaku bertopang pinggir meja makan mereka. Sebelah tangan memegang perut bawahnya, nafas tidak beraturan terdengar dari arahnya pula. Membuat Peter semakin khawatir.
Hembusan nafas panjang keluar dari mulut Hector. "Tidak apa-apa. Sakit sedikit." Pria yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran itu meregangkan kepalanya keatas sampai mata berhadapan lurus sama lampu ruang makan mereka yang tergantung diatas.
"Braxton Hicks, dear?" Peter menghampirinya dari belakang, melingkarkan tangannya di perut sang suami. Mengelusnya dengan harapan bisa membuat rasa tidak nyaman Hector berkurang. "Semakin sering terjadi mengingat ini adalah minggu terakhirmu, huh?" Dia merujuk kepada kehamilan Hector yang sudah berumur 40 minggu, minggu terakhir kehamilan. Tinggal menunggu kelahirannya, yang diperkirakan oleh dokter sekitar tanggal 20 ini.
Sepanjang itu Hector terus-terusan merasakan kontraksi bohongan alias Braxton Hicks. Rasanya jauh lebih intens dari biasanya, kata Hector. Prudy yang kepalanya sudah berputar ke posisi bawah terasa semakin mendesak ke mulut uterus, mengkonfirm waktu kelahirannya semakin dekat. Bikin Hector jantungan lebih parah.
"Shit, that's the worse one yet. Fuck... This is not fun anymore." umpat Hector, melemaskan punggungnya ke badan Peter.
Peter menempatkan kepalanya di samping kepala Hector, miring sedikit untuk mencium pinggir bibirnya. "Kamu mau rebahan dulu? Duduk di sofa, sana. Aku akan membuatkanmu teh."
Sebelum Hector bisa menjawabnya, Peter sudah menuntunnya duluan menuju sofa ruang tengah mereka. Pria mata-mata Inggris itu meletakan sebuah bantal kecil dibelakang punggung Hector sebelum duduk, supaya Hector bisa duduk lebih nyaman tanpa rasa sakit berlebihan di punggung. Peter juga menyuruh Hector meluruskan kedua kakinya ke atas meja kopi depan mereka, yah membantu Hector sedikit mencari posisi yang lebih nyaman. Sepertinya semua posisi duduk sekarang ini terasa menyakitkan sekali bagi Hector.
"Trims." Hector mendesah lagi. Telapak tangan beristirahat diatas puncak perut hamilnya, kaki Prudy berada diatas. Dia bisa merasakannya. Kalau ditekan sedikit, kaki Prudy bakalan mengenai tulang rusuknya. Peter pernah tidak sengaja melakukan itu dan ia mendapatkan bogem mentah dari sang suami.
Peter mengusap lengan Hector. "Yes of course. Aku mau membuat teh dulu, ya. Herbal?"
"Nggak. Masih ada PG Tips biasa?" Hector menawar.
"Aku rasa ada. Tinggal sekantong."
"Make me that."
"Right."
Peter langsung beranjak dari tempat Hector kembali ke dalam dapur. Menyeduh teko teh dengan air keran dan memanaskannya di atas kompor, meanwhile dia mencari kantong teh yang diinginkan oleh Hector. Peter jadi lebih khawatiran beberapa hari ini, selalu was-was tiap kali pergi bekerja meninggalkan Hector dirumah sendirian... Bagaimana kalau Hector betul-betul mengalami kontraksi melahirkan terus Peter tak ada ditempat untuk membantunya? Gimana kalau terjadi apa-apa sama Hector dan Prudy? Karena pemikiran negatif inilah Peter memilih mengerjakan pekerjaannya di rumah, toh Smiley juga membiarkannya setelah beberapa kali memohon.
Tentunya pakai Smiley mengatai Peter sebagai 'Calon ayah bodoh' terlebih dahulu. Hector ketawa histeris sewaktu mendengar cerita Peter yang itu, dia juga ikut-ikutan mengatai Peter 'Calon ayah bodoh' akibat tingkah overprotektifnya. Peter mah terima aja dikatain begitu sama senior dan suaminya sendiri, alias gak bisa ngelak. Dia juga gak ngerti kenapa dia protektif sekali kepada keluarga kecilnya...
Tak lama kemudian Peter kembali dengan secangkir teh ditangannya. Hector mengucapkan terima kasih kepada suaminya lalu meminumnya perlahan-lahan. Peter memperhatikannya seksama, dia memposisikan dirinya duduk pas disamping Hector. "Feel any better?" Tanya Peter, pemilik rambut pirang berwarna soft layaknya jagung.
Hector mendecakan lidahnya dari butir air teh yang menitik jatuh dari pinggir bibirnya, "Sama sekali tidak. Prudy memang jadi tenang sekarang, tapi--hhngh, the godamn Braxton Hicks is still there--- ugh." teh buatan Peter terasa pas seperti biasanya.
"Poor dear. I wish I could do something to help you..." Kata Peter. Jari tangan menelusuri lekukan perut Hector, menemukan kulit disekitarnya terasa keras. Berbeda dari biasanya.
"You've done enough," Hector membalas. Memang benar, Peter sudah melakukan banyak hal baginya. "Kamu tidak bisa menolongku lebih dari ini. Well, kecuali kamu bisa membawakanku obat bius or pain killer, I'll be so grateful."
"Gak bisa membantumu dalam soal itu, dear. Tenang saja, ya?" Kata Peter. Entah sebenarnya dia mau menenangkan Hector atau dirinya sendiri, dia juga cemas melihat Hector kesakitan.
Aneh memang. Dia merasa takut tapi sekaligus senang, mereka akan segera bertemu anak pertama mereka; anak yang tidak tertulis sama sekali di dalam jadwal kehidupan Peter dan Hector. Yah, memang ada obrolan soal memiliki anak setelah mereka secara legal menikah, tapi gak menyangka mereka akan diberikan begitu cepat. Semua karena satu hari penuh menghabiskan waktu di kampung halaman Peter di Perancis, godamn France people with their wine and beautiful atmosphere. Hector habis dijamah Peter luar-dalam tanpa terkecuali waktu itu...
....Yang kemudian menghasilkan Prudy.
Ketika mereka berpindah ke kamar tidur, Peter sedang membaca novel Perancis tua saat wajah Hector mengernyit kesakitan dalam tidurnya. Peter menoleh dan menaruh bukunya ke samping meja lampu, cepat dia menyentuh pundak Hector.
"Hector? Hector, kamu tak apa?" Katanya, makin cemas sewaktu mendengar Hector mengerang kecil dengan kedua mata masih tertutup.
Akhirnya beberapa menit kemudian si pria yang punya seringai menyeramkan itu terbangun. Nafasnya memburu pendek, pandangan mata capek ia berikan ke Peter; "Ungh, sakit..." Dia hanya mengucapkan itu sebelum berbalik posisi tidur membelakangi Peter sambil memegang perut bawahnya.
Peter menopang setengah badan atasnya menggunakan sikut untuk melihat wajah Hector lebih jelas. "Jarak Interval berapa menit?" Dia menduga Hector sudah tidak mengalami Braxton Hicks lagi, melainkan kontraksi beneran. Tapi masih terlalu dini buat mengetahuinya secara pasti.
"15--- menit," suara terengah Hector mulai menurun kembali. Agaknya tenang tapi tetap sakit. "Semakin cepat. Mungkin hari ini adalah harinya..." Hector sempat-sempatnya meraih jam tangannya di samping meja kecil yang mengapit kedua sisi tempat tidur mereka, jarum jam berhenti pas pada angka 22:15 malam.
Peter terdiam mendengar Hector bilang kalau Prudy bisa saja lahir hari ini. "...Your due date is 4 more days, Prudy... Seharusnya tidak lahir sekarang... Kan?" Peter pakai acara ketawa maksa pula saking cemasnya.
"But she is ready. Itu kan cuman perhitungan dokter saja, yang memutuskan kan boss kecil ini," Hector menepuk perutnya sekali. "Such an annoying little lady. Like her father." Dia grusuk sendiri mencari posisi enak buat tidur.
Peter cannot helped but laugh, Hector tetap saja bersikeras kalau bayi mereka adalah perempuan. Padahal dokter sudah memberitahu kalau mereka akan mendapatkan anak laki-laki...
"Shush. Udah gak apa-apa sekarang, kan? Tidurlah kembali, Hector." Ujar Peter sambil menarik selimut menutupi tubuh Hector lebih erat, sempat mengelus tengkuk leher Hector sebentar.
Hector menemukan dirinya lebih tenang dibawah sentuhan Peter. Peter selalu tahu bagaimana membuatnya lebih tenang, yah meski tidak membantu-bantu banget tapi seenggaknya lumayanlah daripada nggak. Rasa sakit di perutnya tidak berkurang, tapi cukup mild rasanya, sepertinya dia akan mencoba untuk tidur lagi...
Kalau sampai besok sakitnya tidak reda, Peter akan membawa Hector pergi ke rumah sakit. Seperti kata pasangannya barusan, dia tak memiliki kontrol atas waktu kelahiran bayi mereka. Dia bisa lahir kapan saja di minggu ini karena memang sudah waktunya dia keluar dari sana, mana ruang gerak Prudy sudah terbatas; bergerak sedikit saja akan mengenai sebagian organ dalam milik Hector.
Dan ternyata mereka tak perlu menunggu lebih lama.
Waktu menunjukkan pukul 03:45 dini hari saat Hector mengguncang lengan Guillam secara kasar. "Pe-Peter. Bangun, Peter. Dammit..." Suaranya terdengar desperate.
Segera Peter bangun dalam posisi siaga. Sekalinya dia membuka mata dalam posisi terkejut, semua rasa kantuk yang tersisa lenyap tanpa bekas. Kebiasaan yang tumbuh dari seringnya tugas lapangan saat masih jadi anak baru di MI6. Tidur bukanlah kenikmatan, tapi salah satu job desk pekerjaan.
"Kenapa, Hector?" Peter bertanya sambil mengusap matanya, memfokuskan pandangan.
"...aku berdarah."
Hector menaikan tangannya dari bawah selimut mereka, memperlihatkan telapak tangan kanan bersemu darah merah. Tidak banyak, berupa bercak tipis. Tapi itu cukup untuk membuat muka Peter kehilangan seluruh warnanya, pucat laksana tembok putih.
Selimut melayang jatuh ke lantai, Peter menyalakan lampu meja agar bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi lebih jelas. Ternyata benar, bagian selangkangan celana tidur Hector terdapat darah merembes disana. Wajah si pria yang kesakitan gak membantu Peter supaya jadi lebih tenang. Timbulnya darah membuat banyak spekulasi buruk, melihat dari wajah panik Hector, Peter tahu dia harus melakukan sesuatu. Tentu saja pilihan pergi ke rumah sakit adalah pilihan terbaik sekarang.
"Stay here! Aku akan mempersiapkan mobil dan yang lain. Just--- calm down."
Sekali lompat turun tempat tidur Peter menarik dressing-gown dari gantungan lemari, buru-buru memakainya sambil berjalan keluar kamar tidur mereka. Meninggalkan Hector yang gak sempat memakinya 'Well obviously I cannot go anywhere with this condition, right!?'. Selama Peter pergi, Hector mengerang tiap 10 menit sekali akibat tekanan sakit di perutnya. Oh, jadi Braxton Hicks yang kemarin bukan
翻訳されて、しばらくお待ちください..
