MigasReview, Jakarta – Undang-Undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum seharusnya dapat menjadi kemudahan bagi industri sektor minyak dan gas bumi (migas) untuk mengurus perizinan lahan, utamanya dalam melakukan eksplorasi. Selain itu, Instruksi Presiden No. 2/2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional dikeluarkan untuk memperlancar dan mempercepat proses perizinan, masalah yang selalu dikeluhkan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS).
Tetapi pada kenyataannya, Inpres tersebut tidak diiringi dengan ketegasan menyangkut batas waktu maksimal yang memerlukan dukungan kementerian dan lembaga terkait. Kepala Kelompok Kerja Formalitas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Hanif Rusjdi menilai, Inpres No. 2/2012 lemah dalam mengakomodasi kegiatan hulu migas yang membutuhkan sebidang tanah seluas 1-5 hektar untuk memastikan ada tidaknya cadangan migas di suatu wilayah kerja (WK).
Berikut penuturannya kepada MigasReview.com saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.
Apa perbedaannya setelah ada UU No. 2/2012 dibandingkan sebelumnya mengingat masih ada pandangan tentang lambannya perizinan lahan yang pada akhirnya dapat menghambat kinerja sektor hulu migas?
Sebenarnya, terbitnya UU No. 2/2012 bukan hanya masalah waktu. Dengan masuknya sektor migas ke dalam kepentingan umum, seyogyanya ini di atas kepentingan lain, termasuk swasta, tanah negara, dan kepentingan individual. Selain itu, dulu masih terpusat karena belum adanya otonomi daerah.
Di sisi lain, dalam Peraturan Presiden (Perpres), sektor migas tidak tercantum sehingga dianggapnya kita masih memiliki kuasa tambang. Padahal, kuasa tambang berada di kementerian, bukan di SKK Migas.
Sementara, kami yang berada di sektor migas tidak ego sektoral. Misalnya, perusahaan batubara mau masuk, silakan. Masyarakat mau usaha, silakan. Ini tanah belum kita beli, kalau mau dibeli, silakan. Ini karena begitu masa kontrak PSC habis, WK akan kembali lagi ke negara.
Kalau dulu, Pertamina memiliki hubungan yang erat dengan Kemendagri dan BPN. Maka, dengan kuasa tambang itu mereka bisa dengan ketat menjaga lahan. Ketika ada suatu perusahaan mau masuk wilayah WK tersebut, dia harus nanya dulu ke Pertamina.
Nah, yang terjadi sekarang, misalkan negara mengizinkan lahan dipakai atau bisa saja dibeli oleh perusahaan yang minta tadi. Begitu sektor migas mau menggunakannya, lahan itu sudah dipakai atau dibeli. Padahal itu adalah WK untuk dilakukan eksplorasi.
Saat meminta perizinan hingga terbit Surat Keputusan (SK), di bagian mana yang paling susah?
Masalah di sektor migas yang paling susah dan lama adalah saat menghadapi perizinan kehutanan. Ada yang namanya eksplorasi dan eksploitasi. Lama terbitnya izin kawasan hutan untuk eksplorasi adalah 125 hari, yaitu untuk survei dan seismik. Maka, keluarlah yang namanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Pada eksploitasi, ada yang namanya persetujuan prinsip, yaitu kewajiban pemegang IPPKH yang memiliki beberapa persyaratan tertera pada bagian Ketujuh pasal 26, 27, 28, 29 dan 30 Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 18/2011.
Di dalamnya terdapat provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), rehabilitasi, reklamasi, dan lain sebagainya. Namun, ada yang menjadi kesulitan bagi sektor migas untuk memenuhi persyaratan tadi, yaitu mengganti tanah 2 kali luas yang digunakan. Ini agak sulit untuk Pulau Jawa. Kalau menggunakan 20 hektare, lalu harus mengganti 40 hektare, mau nyari di mana? Kapan selesainya? Ini selalu jadi hambatan. Dua tahun tidak selesai.
Dan yang paling parah lagi, kalau di lahan itu sudah digunakan oleh perusahaan non-migas atau swasta, kita harus menyelesaikan dengan dia sendiri. Artinya, uang yang seharusnya masuk ke negara, malah dibayarkan ke swasta. Akhirnya, penghasilan untuk daerah, terutama untuk kepentingan masyarakat sekitar, akan hilang karena bayarnya ke perorangan atau swasta.
Aturan sebenarnya ada di Permenhut No. 18/2011. Seharusnya Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menengahi masalah ini. Kalau dananya masuk ke instansi Kemenhut sih, tidak ada masalah karena akan masuk ke PNBP (Pajak Negara Bukan Pajak, red).
Itulah yang melemahkan sektor migas menyangkut pengadaan tanah. Selama peraturan yang ada masih seperti itu, sektor migas mau tidak mau harus memenuhi kewajiban dalam aturan tersebut. Tapi, risikonya bisa memperlambat target-target yang ditetapkan pada sektor migas. Padahal, Inpres No. 2/2012 kan jelas tujuannya, yaitu untuk mencapai produksi minyak 1,01 juta barel per hari.
Keberadaan Inpres itu bukannya lebih mempermudah?
Bunyinya di Inpres No. 2/2012 memberi instruksi kepada 15 kementerian atau lembaga (K/L). Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Yang dituntut atau diberi waktu dalam pelaksanaannya, agar dipermudah atau dipercepat, hanya K/L migas. Sementara K/L yang lain disesuaikan dengan peraturan K/L atau peraturan-peraturan menteri yang berlaku. Kita yang di sektor migas berkewajiban mengikuti aturan-aturan tersebut. Pertanyaannya: kalau mereka masuk ke kita bagaimana?
Kita welcome tidak ada aturan yang belibet seperti mereka. Makanya di sektor migas ada yang namanya PPLB (Perjanjian Pemanfaatan Lahan Bersama, red). Seharusnya ini yang ditekankan. Kita yang di sektor migas tidak seperti aturan-aturan yang lain.
Di satu sisi, Inpres itu menekankan target lifting minyak sebesar 1,01 juta barel per hari, sementara di sisi lain kita harus menghadapi masalah-masalah soal pengadaan tanah. Inpres ini diterbitkan untuk menghadapi masalah tersebut. Tapi nyatanya, soal tata waktu tidak ditekankan agar dipermudah atau dipercepat.
Padahal, saya pernah memberikan masukan agar soal pengadaan tanah dalam Inpres itu maksimal 100 hari. Tapi gak muncul tuh di Inpres. Tadi kita mengetahui, permasalahannya ada di Permenhut. Nah, ini ditambah dengan otonomi daerah, yang masing-masing punya peraturan daerah (Perda). Kebayang kan, betapa sulitnya kita ingin mengejar target produksi minyak yang ditetapkan kalau permasalahan pengadaan tanah tidak terselesaikan.
Jadi, bisa dikatakan tidak adil, karena meski UU sudah ada tapi Inpres masih setengah hati?
Iya, seperti itu dan membuat lemah karena tatanan waktunya tidak dipertajam. Makanya, kita sedang memperjuangkan. Kalau perlu, butuh Perpres pengadaan tanah khusus migas. Bagaimanapun juga, UU-nya tidak salah. Kita hanya menuntut bahwa migas yang masuk dalam kepentingan umum agar mendapat perlakuan sesuai UU.
Sangat jelas dibutuhkan harmonisasi antar K/L. Migas itu untuk kepentingan seluruh rakyat. Tapi kalau ada yang memperlambat pengadaannya, gimana? Dituntut mencapai target, tapi disuruh jalan sendiri. Di UU Pasal 7 ayat 1 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan sesuai dengan
(a) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
(b) Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
(c) Rencana Strategis; dan
(d) Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
Pasal 7 ayat 2 dalam Hal Pengadaan Tanah untuk infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi menyebutkan, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (c) dan huruf (d).
Pasal 7 ayat 3 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan. Artinya, dalam UU ini sektor migas sudah dipermudah karena tidak perlu mengajukan RTRW dan Rencana Pembangunan. Cukup Rencana Strategis dan Rencana Kerja.
Di mana posisi SKK Migas saat KKKS harus melakukan proses pengadaan lahan?
SKK Migas mengawasinya. KKKS bisa bernegosiasi dengan pemilik tanah. Tapi untuk masalah harga kan belum ditentukan karena BPN yang memutuskan. Ada tim appresial (penilai), kemudian BPN memberikan informasi harga tersebut ke SKK Migas. Bukan KKKS yang negosiasi ke kita. KKKS mau negosiasi ke BPN, silakan, tapi kita awasi.
Harapannya memang SKK Migas bisa turut bernegosiasi. Tapi kita juga kekurangan SDM. Memang ada surat pengantar atau kuasa dari SKK Migas kepada KKKS untuk urusan pengadaan tanah, tapi tidak bisa juga KKKS yang bernegosiasi untuk pengadaan tanah tanpa pengawasan kita. Nanti bisa semaunya dia.
Misal lahan yang mau dibebaskan ternyata ada bisnis suatu perusahaan swasta, seperti perkebunan. Kalau berdasarkan UU, seharusnya kepentingan migas lebih didahulukan?
Benar karena perkebunan tidak masuk dalam kepentingan umum dan izinnya adalah hak guna usaha (HGU). Yang memberikan izin HGU kan BPN. Berdasarkan UU No. 2/2012, BPN masuk dalam tim pengadaan tanah. Masak kepentingan umum dikalahkan oleh bukan kepentingan umum? (anovianti muharti)
MigasReview, Jakarta – Undang-Undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum seharusnya dapat menjadi kemudahan bagi industri sektor minyak dan gas bumi (migas) untuk mengurus perizinan lahan, utamanya dalam melakukan eksplorasi. Selain itu, Instruksi Presiden No. 2/2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional dikeluarkan untuk memperlancar dan mempercepat proses perizinan, masalah yang selalu dikeluhkan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS).
Tetapi pada kenyataannya, Inpres tersebut tidak diiringi dengan ketegasan menyangkut batas waktu maksimal yang memerlukan dukungan kementerian dan lembaga terkait. Kepala Kelompok Kerja Formalitas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Hanif Rusjdi menilai, Inpres No. 2/2012 lemah dalam mengakomodasi kegiatan hulu migas yang membutuhkan sebidang tanah seluas 1-5 hektar untuk memastikan ada tidaknya cadangan migas di suatu wilayah kerja (WK).
Berikut penuturannya kepada MigasReview.com saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.
Apa perbedaannya setelah ada UU No. 2/2012 dibandingkan sebelumnya mengingat masih ada pandangan tentang lambannya perizinan lahan yang pada akhirnya dapat menghambat kinerja sektor hulu migas?
Sebenarnya, terbitnya UU No. 2/2012 bukan hanya masalah waktu. Dengan masuknya sektor migas ke dalam kepentingan umum, seyogyanya ini di atas kepentingan lain, termasuk swasta, tanah negara, dan kepentingan individual. Selain itu, dulu masih terpusat karena belum adanya otonomi daerah.
Di sisi lain, dalam Peraturan Presiden (Perpres), sektor migas tidak tercantum sehingga dianggapnya kita masih memiliki kuasa tambang. Padahal, kuasa tambang berada di kementerian, bukan di SKK Migas.
Sementara, kami yang berada di sektor migas tidak ego sektoral. Misalnya, perusahaan batubara mau masuk, silakan. Masyarakat mau usaha, silakan. Ini tanah belum kita beli, kalau mau dibeli, silakan. Ini karena begitu masa kontrak PSC habis, WK akan kembali lagi ke negara.
Kalau dulu, Pertamina memiliki hubungan yang erat dengan Kemendagri dan BPN. Maka, dengan kuasa tambang itu mereka bisa dengan ketat menjaga lahan. Ketika ada suatu perusahaan mau masuk wilayah WK tersebut, dia harus nanya dulu ke Pertamina.
Nah, yang terjadi sekarang, misalkan negara mengizinkan lahan dipakai atau bisa saja dibeli oleh perusahaan yang minta tadi. Begitu sektor migas mau menggunakannya, lahan itu sudah dipakai atau dibeli. Padahal itu adalah WK untuk dilakukan eksplorasi.
Saat meminta perizinan hingga terbit Surat Keputusan (SK), di bagian mana yang paling susah?
Masalah di sektor migas yang paling susah dan lama adalah saat menghadapi perizinan kehutanan. Ada yang namanya eksplorasi dan eksploitasi. Lama terbitnya izin kawasan hutan untuk eksplorasi adalah 125 hari, yaitu untuk survei dan seismik. Maka, keluarlah yang namanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Pada eksploitasi, ada yang namanya persetujuan prinsip, yaitu kewajiban pemegang IPPKH yang memiliki beberapa persyaratan tertera pada bagian Ketujuh pasal 26, 27, 28, 29 dan 30 Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 18/2011.
Di dalamnya terdapat provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), rehabilitasi, reklamasi, dan lain sebagainya. Namun, ada yang menjadi kesulitan bagi sektor migas untuk memenuhi persyaratan tadi, yaitu mengganti tanah 2 kali luas yang digunakan. Ini agak sulit untuk Pulau Jawa. Kalau menggunakan 20 hektare, lalu harus mengganti 40 hektare, mau nyari di mana? Kapan selesainya? Ini selalu jadi hambatan. Dua tahun tidak selesai.
Dan yang paling parah lagi, kalau di lahan itu sudah digunakan oleh perusahaan non-migas atau swasta, kita harus menyelesaikan dengan dia sendiri. Artinya, uang yang seharusnya masuk ke negara, malah dibayarkan ke swasta. Akhirnya, penghasilan untuk daerah, terutama untuk kepentingan masyarakat sekitar, akan hilang karena bayarnya ke perorangan atau swasta.
Aturan sebenarnya ada di Permenhut No. 18/2011. Seharusnya Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menengahi masalah ini. Kalau dananya masuk ke instansi Kemenhut sih, tidak ada masalah karena akan masuk ke PNBP (Pajak Negara Bukan Pajak, red).
Itulah yang melemahkan sektor migas menyangkut pengadaan tanah. Selama peraturan yang ada masih seperti itu, sektor migas mau tidak mau harus memenuhi kewajiban dalam aturan tersebut. Tapi, risikonya bisa memperlambat target-target yang ditetapkan pada sektor migas. Padahal, Inpres No. 2/2012 kan jelas tujuannya, yaitu untuk mencapai produksi minyak 1,01 juta barel per hari.
Keberadaan Inpres itu bukannya lebih mempermudah?
Bunyinya di Inpres No. 2/2012 memberi instruksi kepada 15 kementerian atau lembaga (K/L). Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Yang dituntut atau diberi waktu dalam pelaksanaannya, agar dipermudah atau dipercepat, hanya K/L migas. Sementara K/L yang lain disesuaikan dengan peraturan K/L atau peraturan-peraturan menteri yang berlaku. Kita yang di sektor migas berkewajiban mengikuti aturan-aturan tersebut. Pertanyaannya: kalau mereka masuk ke kita bagaimana?
Kita welcome tidak ada aturan yang belibet seperti mereka. Makanya di sektor migas ada yang namanya PPLB (Perjanjian Pemanfaatan Lahan Bersama, red). Seharusnya ini yang ditekankan. Kita yang di sektor migas tidak seperti aturan-aturan yang lain.
Di satu sisi, Inpres itu menekankan target lifting minyak sebesar 1,01 juta barel per hari, sementara di sisi lain kita harus menghadapi masalah-masalah soal pengadaan tanah. Inpres ini diterbitkan untuk menghadapi masalah tersebut. Tapi nyatanya, soal tata waktu tidak ditekankan agar dipermudah atau dipercepat.
Padahal, saya pernah memberikan masukan agar soal pengadaan tanah dalam Inpres itu maksimal 100 hari. Tapi gak muncul tuh di Inpres. Tadi kita mengetahui, permasalahannya ada di Permenhut. Nah, ini ditambah dengan otonomi daerah, yang masing-masing punya peraturan daerah (Perda). Kebayang kan, betapa sulitnya kita ingin mengejar target produksi minyak yang ditetapkan kalau permasalahan pengadaan tanah tidak terselesaikan.
Jadi, bisa dikatakan tidak adil, karena meski UU sudah ada tapi Inpres masih setengah hati?
Iya, seperti itu dan membuat lemah karena tatanan waktunya tidak dipertajam. Makanya, kita sedang memperjuangkan. Kalau perlu, butuh Perpres pengadaan tanah khusus migas. Bagaimanapun juga, UU-nya tidak salah. Kita hanya menuntut bahwa migas yang masuk dalam kepentingan umum agar mendapat perlakuan sesuai UU.
Sangat jelas dibutuhkan harmonisasi antar K/L. Migas itu untuk kepentingan seluruh rakyat. Tapi kalau ada yang memperlambat pengadaannya, gimana? Dituntut mencapai target, tapi disuruh jalan sendiri. Di UU Pasal 7 ayat 1 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan sesuai dengan
(a) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
(b) Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
(c) Rencana Strategis; dan
(d) Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
Pasal 7 ayat 2 dalam Hal Pengadaan Tanah untuk infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi menyebutkan, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (c) dan huruf (d).
Pasal 7 ayat 3 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan. Artinya, dalam UU ini sektor migas sudah dipermudah karena tidak perlu mengajukan RTRW dan Rencana Pembangunan. Cukup Rencana Strategis dan Rencana Kerja.
Di mana posisi SKK Migas saat KKKS harus melakukan proses pengadaan lahan?
SKK Migas mengawasinya. KKKS bisa bernegosiasi dengan pemilik tanah. Tapi untuk masalah harga kan belum ditentukan karena BPN yang memutuskan. Ada tim appresial (penilai), kemudian BPN memberikan informasi harga tersebut ke SKK Migas. Bukan KKKS yang negosiasi ke kita. KKKS mau negosiasi ke BPN, silakan, tapi kita awasi.
Harapannya memang SKK Migas bisa turut bernegosiasi. Tapi kita juga kekurangan SDM. Memang ada surat pengantar atau kuasa dari SKK Migas kepada KKKS untuk urusan pengadaan tanah, tapi tidak bisa juga KKKS yang bernegosiasi untuk pengadaan tanah tanpa pengawasan kita. Nanti bisa semaunya dia.
Misal lahan yang mau dibebaskan ternyata ada bisnis suatu perusahaan swasta, seperti perkebunan. Kalau berdasarkan UU, seharusnya kepentingan migas lebih didahulukan?
Benar karena perkebunan tidak masuk dalam kepentingan umum dan izinnya adalah hak guna usaha (HGU). Yang memberikan izin HGU kan BPN. Berdasarkan UU No. 2/2012, BPN masuk dalam tim pengadaan tanah. Masak kepentingan umum dikalahkan oleh bukan kepentingan umum? (anovianti muharti)
翻訳されて、しばらくお待ちください..