Bukan hanya aku seorang memang, tetapi juga beberapa teman yang berada di barisan tempatku duduk.
Kami memang tidak sepandai dibandingkan teman-teman di barisan lain.
Jadi setiap kali guru berkeliling memantau pengerjaan latihan, barisan kami selalu dilewatkan begitu saja.
Waktu itu sedang belajar Fisika, kucoba memanggil Bu guru, maksud hati ingin bertanya, namun aku tak dihiraukan.
Di kelas sebelas, semua mata pelajaran kujalani apa adanya.
Tapi entah mengapa aku merasa lebih senang karena kebanyakan guru tidak bersikap pilih kasih.
Baik yang pandai maupun yang lambat mencerna pelajaran tidak dibeda-bedakan.
Semua diperlakukan sama.
Tapi ada seorang guru yang tetap lebin mementingkan yang pandai saja.
Tiap kali menunjuk siswa untuk menyelesaikan soal-soal, selalu yang itu-itu saja.
Yang lain tak diberi kesempatan untuk mencoba.
"Barian kita tidak pernah ditunjuk, ya!" celetuk Yazeh, yang tepat duduk di depanku.
Ya, beliau adalah guru Kimia sekaligus wali kelas kami.
Setelah beliau tahu bahwa aku yang meraih juara umum, barisan kami mulai diperhitungkan olehnya.
Saat istirahat sambil berjalan menuju perpustakaan, aku berpikir, apakah harus mendapatkan posisi dulu baru seseorang mendapatkan perhatian dari guru? Prinsipku tidak ingin mencari muka di hadapan guru.
Tiba-tiba, "Jangan melamun, Dor!" tegur Kak Alan, seniorku.
Aku terkejut dan mukaku menjadi merah.
Aku tak berani berbincang dan segera berlalu darinya.
Dalam aku kagum pada beliau karena kecerdasannya.
Setelah duduk di kelas dua belas, aku semakin bersemangat.
Semua pelajaran terasa menyenangkan.
Semua guru tak ada yang bersikap pilih kasih.
Seperti biasa, menjelang Ujian Akhir Nasional(UAN) kami berlatih mengerjakan soal-soal agar saat hari H kami siap mental dan siap ilmu.
Try Out(TO) pun berulang kali dilaksanakan.
Waktu itu saat pembagian hasil TO pertama untuk mata pelajaran Fisika, aku merasa down.
Bagaimana tidak? nilaiku 40.
Memang saat mengerjakannya aku banyak yang tidak paham, karena sebagian besar soalnya berisi materi di kelas sepuluh.
Sedangkan di kelas sepuluh dulu aku tidak mengerti sama sekali, bahkan tidak dipandang oleh guruku.
"Bagaimana hasilnya, Dor?" Tanya Pak Jon.
Beliau adalah guru Fisikaku.
"Belum bagus, Pak, hasilnya." Jawabku.
"Tidak apa-apa, ini, kan, baru TO pertama. Masih banyak kesempatan untuk memperbaiki nilai. Teruslah belajar. Tak perlu pintar, yang penting tekun. Dan ingat, jangan pernah menyontek. Jujurlah sejak kini."
Nesehat yang beliau utarakan pada kami.
Sejak saat itu, aku berusaha mempelajari materi kelas sepuluh sehingga nilaiku mengalami peningkatan dari TO ke TO.
Hingga UAN tiba, aku siap menjalaninya.
Ketika kelulusan tiba, terbersit kata tekun dan jujur di pikiranku.
Mungkin inilah intisari yang dapat ku petik saat menjalani masa SMA.
Saat pendaftaran kuliah, entah disengaja atau tidak, aku bertemu lagi dengan seniorku dulu, Kak Alan.
Gugup, namun ku coba untuk berbincang karena sekarang beliau menjadi seniorku lagi di jurusan.
Ku coba meremung, mungkin waktu SMA dulu adalah awal langkahku dan waktu itu akan selalu menjadi ceritaku.