Tulisan ketiga, berasal dari Moh Yasir Alimi, menukik lebih dalam ke tema
identitas. Persoalan identitas tidak hanya dibahas dalam konteks komunikasi
dalam ruang publik, melainkan juga dalam konteks materialitasnya, yaitu
gender dan seks. Tokoh yang dibahas adalah Judith Butler. Sebagaimana
jelas dalam tulisan Yasir, Butler ingin melampaui “metafisika” identitas yang
berasal dari feminisme yang mengakui “naturalitas seks” sebagai basis
gender. Baginya, tak ada yang esensial dari seks. Seks itu bukan substansi,
melainkan hasil konstruksi dari relasi-relasi kuasa/pengetahuan yang disebut
diskursus. Kita boleh sangsi, apakah Butler seorang feminis atau lebih seorang
filsuf poststrukturalis dengan minat teoretis, seperti dikomentari Yasir.